Sumber Hukum Islam
BAB 7 SUMBER HUKUM ISLAM
Pengertian alquran
Apa itu Al-Qur’an? Dari segi bahasa, Al-Quran berarti
“yang dibaca” atau “bacaan”. Sedangkan,
menurut istilah pengertian Al-Qur’an adalah
kitab suci umat Islam yang berisi firman-firman
Allah SWT, yang diwahyukan dalam bahasa Arab
kepada Nabi Muhammad dan membacanya
bernilai ibadah. Al-Qur’an berfungsi sebagai
petunjuk/pedoman bagi umat manusia dalam
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Sebagai
pedoman hidup, isi/kandungan Al-
Qur’an terbagi menjadi tiga pembahasan pokok yaitu
akidah, ibadah, dan prinsip-prinsip
syariat. Al-Qur’an mempunyai kedudukan sebagai
sumber utama hukum Islam. Hukum Islam
adalah hukum ke-Tuhanan, Allah telah mensyari’atkan kepada
para hamba-Nya. Al-Qur’an
merupakan dalil pokok dan merupakan jalan untuk
mengetahui hukum-hukum ini. Al-Qur’an
adalah firman Allah yang merupakan jalan pertama untuk
mengetahui hukum-hukum-Nya.
Alasan yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk
bagi manusia dan hukum-hukum
yang ada didalamnya merupakan undang-undang yang wajib
ditaati. Sebab kebenaran dari Al-
Qur’an tidak diragukan.
Setiap muslim tentu menyadari
bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang merupakan pedoman
hidup dan dasar setiap langkah hidup. Al-Qur’an bukan
hanya sekedar mengatur hubungan
antara manusia dengan Allah SWT, tetapi juga mengatur
hubungan manusia dengan manusia
serta dengan lingkungannya. Itulah sebabnya, Al-Qur’an
menjadi sumber hukum yang pertama
dan utama bagi umat Islam. Seseorang dikatakan berpegang
teguh pada Al-Qur’an apabila selalu
mengamalkan apa yang diajarkan dalam Al-Qur’an. Dengan
Al-Qur’an, manusia diharapkan
dapat memiliki akhlak yang terpuji.
Isi kandungan Al Qur’an
Isi kandungan Al Qur’an dilihat dari segi kuantitas dan
kualitas.
1. Segi Kuantitas
Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat,
323.015 huruf dan 77.439 kosa kata
2. Segi Kualitas
Isi pokok Al Qur’an (ditinjau dari segi hukum) terbagi
menjadi 3 (tiga) bagian:
1. Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang
mengatur hubungan rohaniyah dengan
Allah SWT dan hal – hal lain yang berkaitan dengan
keimanan. Ilmu yang mempelajarinya
disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam
2. Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur
hubungan dengan Allah,
dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam
Rukun Islam dan disebut
hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu
Fiqih
3. Hukum yang berkaitan dngan akhlak. Yakni tuntutan agar
setiap muslim memiliki sifat –
sifat mulia sekaligus menjauhi perilaku – perilaku
tercela.
Bila ditinjau dari Hukum Syara terbagi menjadi dua
kelompok:
1. Hukum yang berkaitan dengan amal ibadah seperti
shalat, puasa, zakat, haji, nadzar,
sumpah dan sebagainya yang berkaitan dengan hubungan
manusia dengan tuhannya.
2. Hukum yang berkaitan dengan amal kemasyarakatan
(muamalah) seperti perjanjian
perjanjian, hukuman (pidana), perekonomian, pendidikan,
perkawinan dan lain sebagainya.
Hukum yang berkaitan dengan muamalah meliputi:
1. Hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam
berkeluarga, yaitu perkawinan
dan warisan
2. Hukum yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu yang
berhubungan dengan jual beli
(perdagangan), gadai-menggadai, perkongsian dan
lain-lain. Maksud utamanya agar hak
setiap orang dapat terpelihara dengan tertib
3. Hukum yang berkaitan dengan gugat menggugat, yaitu
yang berhubungan dengan
keputusan, persaksian dan sumpah
4. Hukum yang berkaitan dengan jinayat, yaitu yang
berhubungan dengan penetapan hukum
atas pelanggaran pembunuhan dan kriminalitas
5. Hukum yang berkaitan dengan hubungan antar agama,
yaitu hubungan antar kekuasan Islam
dengan non-Islam sehingga tercpai kedamaian dan kesejahteraan.
6. Hukum yang berkaitan dengan batasan pemilikan harta
benda, seperti zakat, infaq dan
sedekah.
Ketetapan hukum yang terdapat dalam Al Qur’an ada yang
rinci dan ada yang garis besar. Ayat
ahkam (hukum) yang rinci umumnya berhubungan dengan masalah
ibadah, kekeluargaan dan
warisan. Pada bagian ini banyak hukum bersifat ta’abud
(dalam rangka ibadah kepada Allah
SWT), namun tidak tertutup peluang bagi akal untuk
memahaminya sesuai dengan perubahan
zaman. Sedangkan ayat ahkam (hukum) yang bersifat garis
besar, umumnya berkaitan dengan
muamalah, seperti perekonomian, ketata negaraan,
undang-undang sebagainya. Ayat-ayat Al
Qur’an yang berkaitan dengan masalah ini hanya berupa
kaidah-kaidah umum, bahkan seringkali
hanya disebutkan nilai-nilainya, agar dapat ditafsirkan
sesuai dengan perkembangan zaman.
Selain ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum,
ada juga yang berkaitan dengan
masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan
lain-lainnya. Ayat yang berkaitan dengan
masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali
Keistimewaan alquran
1. Tidak sah shalat seseorang kecuali dengan membaca
sebagian ayat al-Qur’an (yaitu surat Al-
Fatihah-Red) berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
لاَ
صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ
بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca surat
al-Fatihah”. [HR. Bukhari-Muslim]
2. Al-Qur’an terpelihara dari tahrif (perubahan) dan
tabdil (penggantian) sesuai dengan firman
Allah Azza wa Jalla :
إِنَّا
نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan
sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya”. [al-Hijr:9]
Adapun kitab-kitab samawi lainnya seperti Taurat dan
Injil telah banyak dirubah oleh
pemeluknya.
3. Al-Qur’an terjaga dari pertentangan/kontrakdiksi (apa
yang ada di dalamnya) sesuai dengan
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
أَفَلاَ
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ مِنْ
عِندِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا
فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيرًا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau
kiranya Alquran itu bukan dari sisi
Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang
banyak di dalamnya”. [an-Nisa’: 82]
4. Al-Qur’an mudah untuk dihafal berdasarkan firman
Allah:
وَلَقَدْ
يَسَّرْنَا الْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk
pelajaran”. [al-Qamar: 32]
5. Al-Qur’an merupakan mu’jizat dan tidak seorangpun
mampu untuk mendatangkan yang
semisalnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menantang
orang Arab (kafir Quraisy) untuk
mendatangkan semisalnya, maka mereka menyerah (tidak
mampu). Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
أَمْ
يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ
مِّثْلِهِ
“Atau (patutkah) mereka mengatakan: “Muhammad
membuat-buatnya”. Katakanlah: “(Kalau
benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan
sebuah surat seumpamanya … “.
[Yunus: 38]
6. Al-Qur’an mendatangkan ketenangan dan rahmat bagi
siapa saja yang membacanya,
berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
مَا
اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ
مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ
كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ
إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ
وَذَكَرَهُمُ
اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah berkumpul suatu kaum dalam suatu majlis kecuali
turun pada mereka ketenangan dan
diliputi oleh rahmat dan dikerumuni oleh malaikat dan
Allah akan menyebutkan mereka di
hadapan para malaikatnya”. [HR. Muslim].
7. Al-Qur’an hanya untuk orang yang hidup bukan orang
yang mati berdasarkan firman Allah:
لِّيُنذِرَ
مَن كَانَ حَيًّا
“Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada
orang-orang yang hidup (hatinya)”.
[Yaasiin: 70]
Dan firman Allah:
وَأَن
لَّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya”. [an-
Najm:39]
Imam Syafi’i mengeluarkan pendapat dari ayat ini bahwa
pahala bacaan al-Qur’an tidak akan
sampai kepada orang-orang yang mati. Karena bacaan
tersebut bukan amalan si mayit. Adapun
bacaan seorang anak untuk kedua orang tuanya, maka
pahalanya bisa sampai kepadanya, karena
seorang anak merupakan hasil usaha orang tua, sebagaimana
disebutkan dalam hadits Rasulullah
n .
8. Al-Qur’an sebagai penawar (obat) hati dari penyakit
syirik, nifak dan yang lainnya. Di dalam
al-Qur’an ada sebagian ayat-ayat dan surat-surat (yang
berfungsi) untuk mengobati badan seperti
surat al-Fatihah, an-Naas dan al-Falaq serta yang lainnya
tersebut di dalam sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman :
يَآأَيُّهَا
النَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ
مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ
وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu
pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh
bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang
yang beriman”. [Yunus :57]
Begitu pula dalam firmanNya:
وَنُنَزِّلُ
مِنَ الْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ
وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
“Dan Kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi
penawar dan rahmat bagi orang-orang
yang beriman”. (ِAl-Israa’:82)
9. Al-Qur’an akan memintakan syafa’at (kepada Allah) bagi
orang yang membacanya,
berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
اقْرَءُوا
الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ
شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ
“Bacalah al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan datang di
hari kiamat memohonkan syafa’at
bagi orang yang membacanya (di dunia)”. [HR. Muslim].
10. Al-Qur’an sebagai hakim atas kitab-kitab sebelumnya,
sebagaimana firman Allah Azza wa
Jalla :
وَأَنزَلْنَآإِلَيْكَ
الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ
مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Alquran dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa
yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-
kitab yang lain itu”. [al-Maidah: 48]
Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata sesudah menyebutkan
beberapa pendapat tentang tafsir (مُهَيْمِنًا
):
“Pendapat-pendapat ini mempunyai arti yang berdekatan
(sama), karena istilah (مُهَيْمِنًا
) mencakup
semuanya, yaitu sebagai penjaga, sebagai saksi, dan hakim
terhadap kitab-kitab sebelumnya. Al-
Qur’an adalah kitab yang paling mencakup dan sempurna,
yang diturunkan sebagai penutup
kitab-kitab sebelumnya, yang mencakup seluruh kebaikan
(pada kitab-kitab) sebelumnya. Dan
ditambah dengan kesempurnaan-kesempurnaan yang tidak (ada
dalam kitab) yang lainnya. Oleh
karena inilah Allah k menjadikannya sebagai saksi
kebenaran serta hakim untuk semua kitab
sebelumnya, dan Allah menjamin untuk menjaganya. [Tafsir
Ibnu Katsir juz 2 hal. 65]
Pengertian al-hadits
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW
baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum
Islam yang kedua setelah Al
Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati
hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan
yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya.
Hal ini sejalan dengan firman
Allah SWT: (lihat Al-Qur’an onlines di google)
!$tBur ãNä39s?#uä ãAqß™§9$#
çnrä‹ã‚sù $tBur öNä39pktX
çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4
Artinya: “ … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia, dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)
Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh
perilaku Nabi Muhammad SAW
mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan
akhlak mulia. Apabila seseorang bisa
meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya.
Hal tersebut dikarenakan
Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang
sangat mulia. Hadits sebagai sumber
hukum Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Rasulullah
SAW:
Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara untukmu
seklian, kalian tidak akan sesat selama kalian
berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah
rasulnya”. (HR Imam Malik)
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki
kedua fungsi sebagai berikut.
1. Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al
Qur’an, sehingga kedunya (Al
Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal
yang sama. Misalnya Allah SWT
didalam Al Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan
dusta, sebagaimana ditetapkan
dalam firmannya : (lihat Al-Qur’an onlines di google)
Artinya: “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)
Ayat diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga
berisi larangan berdusta.
1. Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat
Al Qur’an yang masih bersifat
umum. Misalnya, ayat Al Qur’an yang memerintahkan shalat,
membayar zakat, dan
menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar.
Seperti tidak menjelaskan jumlah
rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak
merinci batas mulai wajib zakat,
tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua
itu telah dijelaskan oelh
rasullah SAW dalam haditsnya. Contoh lain, dalam Al
Qur’an Allah SWT mengharamkan
bangkai, darah dan daging babi. Firman Allah sebagai
berikut: (lihat Al-Qur’an onlines di
google)
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging
babi…” (QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap
tidak dikecualikan bangkai mana yang
boleh dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan
bahwa ada bangkai yang boleh
dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda
Rasulullah SAW:
اُحِلَّتْ
لَنَا مَيْتَتَانِ وَ دَمَانِ, فَامَّا
الْمَيْتَتَانِ : الْحُوْتُ وَالْجَرَادُ, وَاَمَّا
الدَّمَانِ
: فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالِ ( رواه ابن الماجه
و الحاكم)
Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua
macam darah. Adapun dua macam
bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam
darah adalah hati dan limpa…” (HR
Ibnu Majjah)
1. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak
didapati dalam Al Qur’an. Misalnya, cara
menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuhnya
tujuh kali, salah satunya
dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
طُهُوْرُ
اِنَاءِ اَحَدِكُمْ اِذَا وَلِغَ فِيْهِ
الْكَلْبُ اَنْ يُغْسِلَ سَبْعَ
مَرَّاتٍ اَوْلَهِنَّ بِالتُّرَابِ ( رواه مسلم و
هحمد و هبو داود
و البيهقى)
Artinya: “Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing adlah
dengan cara membasuh sebanyak
tujuh kali salah satunya dicampur dengan tanah” (HR
Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)
Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai
berikut:
1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Rawi yang adil, sempurna ingatan,
sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal.
Illat hadits yang dimaksud adalah
suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai
keshohehan suatu hadits
2. Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh
rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat
ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak
terdapat illat dan kejanggalan
pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul
biasanya dibuat hujjah untuk
sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu
penting
3. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu
syarat atau lebih syarat-syarat hadits
shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam
ragamnya dan mempunyai perbedaan
derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya
syarat-syarat hadits shohih atau
hasan yang tidak dipenuhi
Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang
shohih, yaitu:
1. Rawinya bersifat adil
2. Sempurna ingatan
3. Sanadnya tidak terputus
4. Hadits itu tidak berilat, dan
5. Hadits itu tidak janggal
C. Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
memecahkan suatu masalah yang tidak
ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits,
dengan menggunkan akal pikiran yang
sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara
menetapkan hukum-hukumyang telah
ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum
yang ketiga. Hasil ini berdasarkan dialog
nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin
jabal, ketika Muadz diutus ke
negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,” bagaimana
kamu akan menetapkan hukum
kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan
penetapan hukum?”, muadz menjawab,
“Saya akan menetapkan hukumdengan Al Qur’an, Rasul
bertanya lagi, “Seandainya tidak
ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?” Muadz
menjawab, “Saya akan tetapkan dengan
Hadits”. Rasul bertanya lagi, “seandainya tidak engkau
temukan ketetapannya dalam Al Qur’an
dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan
pendapat saya sendiri” kemudian,
Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal,
tanda setuju. Kisah mengenai Muadz
ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan
hukum Islam setelah Al Qur’an dan
hadits.
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa
syarat berikut ini:
1. mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang
bersangkutan dengan hukum
2. memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya
untuk menafsirkan Al Qur’an dan
hadits
3. mengetahui soal-soal ijma
4. menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih
yang luas.
Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama
ijtihad itu dilakukan sesuai dengan
persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini
Rasulullah SAW bersabda:
اِذَا
حَكَمَ الْحَاكِمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ
اَجَرَانِ وَ اِذَا حَكَمَ
وَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ
اَجْرٌ ( رواه البخارى و
مسلم )
Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara
melakukan ijtihad dan ternyata
hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan
apabila seorang hakim dalam
memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata
hasil ijtihadnya salah, maka ia
memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)
Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat
sebagai hasil ijtihad, tetapi juga
menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru
akan membawa rahmat dan kelapangan
bagi umat manusia. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
…اِخْتِلاَ
فِ اُمَّتِيْ رَحْمَةٌ (رواه نصر المقدس)
Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan
membawa rahmat” (HR Nashr Al
muqaddas)
Dalam berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara
ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah
kese[akatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang
muslim pada suatu masa dari beberapa
masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada hasil
ijma’ diperbolehkan, bahkan
menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah
SWT: (lihat Al-Qur’an onlines di
google)
Artinya: “Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan
rasuknya dan ulil amri diantara
kamu….” (QS An Nisa : 59)
Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang
mempunyai kekuasaan dibidangnya,
seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid.
Dengan demikian, ijma’ ulam dapat
menjadi salah satu sumber hukum Islam. Contoh ijam’ ialah
mengumpulkan tulisan wahyu yang
berserakan, kemudian membukukannya menjadi mushaf Al
Qur’an, seperti sekarang ini
Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang
tidak ada hukumnya dengan
kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara
keduanya terdapat persamaan illat atau
sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras,
seperti bir dan wiski. Haramnya
minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut
dalam Al Qur’an karena antara
keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu
sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir
tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al Qur’an atau hadits
tetap diharamkan karena mengandung
persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al
Qur’an.
Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka
ada baiknya mengetahui
Rukun Qiyas, yaitu:
1. Dasar (dalil)
2. Masalah yang akan diqiyaskan
3. Hukum yang terdapat pada dalil
4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang
diqiyaskan
Bentuk Ijtihad yang lain
Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan hukum suatu
perbuatan yang tidak dijelaskan secara
kongret dalam Al Qur’an dan hadits yang didasarkan atas
kepentingan umum atau
kemashlahatan umum atau unutk kepentingan keadilan
Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang
telah ada dan telah ditetapkan
suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah
kedudukan dari hukum tersebut
Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang
tidak disebutkan secara kongkret
dalam Al Qur’an dan hadits dengan didasarkan karena telah
menjadi adat istiadat atau
kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini
ialah hukum-hukum agama yang
diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum agama
sebelum Islam bisa diakui atau
dibenarkan oleh Islam asalkan tidak bertentangan dengan
ajaran Al Qur’an dan hadits
Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan
maksud syarak yang tidak diperoeh
dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari
maslahah itu. Contohnya seperti
mengharuskan seorang tukang mengganti atau membayar
kerugian pada pemilik barang,
karena kerusakan diluar kesepakatan yang telah
ditetapkan.
Al ‘Urf, ialah urursan yang disepakati oelh segolongan
manusia dalam perkembangan
hidupnya
Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan
untuk mencapai mashlahah atau untuk
menghilangkan mudarat.
D. Pembagian Hukum dalam Islam
Hukum dalam Islam ada lima yaitu:
1. Wajib, yaitu perintah yang harus dikerjakan. Jika
perintah tersebut dipatuhi (dikerjakan),
maka yang mebgerjakannya akan mendapat pahala, jika tidak
dikerjakan maka ia akan
berdosa
2. Sunah, yaitu anjuran. Jika dikerjakan dapat pahala,
jika tidak dikerjakan tidak berdosa
3. Haram, yaitu larangan keras. Kalau dikerjakan berdosa
jika tidak dikerjakan atau
ditinggalkan mendapat pahala, sebagaiman dijelaskan oleh
nabi Muhammad SAW dalam
sebuah haditsnya yang artinya:
Jauhilah segala yang haram niscaya kamu menjadi orang
yang paling beribadah. Relalah
dengan pembagian (rezeki) Allah kepadamu niscaya kamu
menjadi orang paling kaya.
Berperilakulah yang baik kepada tetanggamu niscaya kamu
termasuk orang mukmin.
Cintailah orang lain pada hal-hal yang kamu cintai bagi
dirimu sendiri niscaya kamu
tergolong muslim, dan janganlah terlalu banyak tertawa.
Sesungguhnya terlalu banyak
tertawa itu mematikan hati. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
4. Makruh, yaitu larangan yang tidak keras. Kalau
dilanggar tidak dihukum (tidak berdosa),
dan jika ditinggalkan diberi pahala
5. Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh
pula ditinggalkan. Kalau dikerjakan
tidak berdosa, begitu juga kalau ditinggalkan.
Dalil fiqih adalah Al Qur’an, hadits, ijma’ mujtahidin
dan qiyas. Sebagian ulama menambahkan
yaitu istihsan, istidlal, ‘urf dan istishab.
Hukum-hukum itu ditinjau dari pengambilannya terdiri atas
empat macam.
1. Hukum yang diambil dari nash yang tegas, yakni adanya
dan maksudnya menunjukkan
kepada hukum itu
Hukum seperti ini tetap, tidak berubah dan wajib
dijalankan oleh seluruh kaum muslim,
tidak seorangpun berhak membantahnya. Seperti wajib
shalat lima waktu, zakat, puasa, haji
dan syarat syah jual beli dengan rela. Imam syafi’ie
berpendapat apabila ada ketentuan
hukum dari Allah SWT, pada suatu kejadian, setiap muslim
wajib mengikutinya.
2. Hukum yang diambil dari nash yang tidak yakin
maksudnya terhadap hukum-hukum itu.
Dalam hal seperti ini terbukalah jalan mujtahid untuk
berijtihad dalam batas memahami nas
itu. Para mujtahid boleh mewujudkan hukum atau menguatkan
salah satu hukum dengan
ijtihadnya. Umpamanya boleh atau tidakkah khiar majelis
bagi dua orang yang berjual beli,
dalam memahami hadits:
اَلْبَيْعَانِ
بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقاً
Dua orang yang jual beli boleh memilih antara meneruskan
jual beli atau tidak selama keduanya
belum berpisah. Kata “berpisah” yang dimaksud dalam
hadits ini mungkin berpisah badan atau
pembicaraan, mungkin pula ijab dan kabul. Sperti wajib
menyapu semua kepala atau sebagian
saja ketika wudhu’, dalam memahami ayat:
Artinya: “Dan sapulah kepalamu” (QS Al Maidah : 6)
Juga dalam memahami hadits tidak halal binatang yang
disembelih karena semata-mata tidak
membaca basmalah.
مَا
اَنْهَرَ الدَّ مَ وَ
ذُ كِرَ اِسْمَ اللهِ
عَلَيْهِ
Alat apapun yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan
padanya nama Allah.
1. Hukum yang tidak ada nas, baik secara qa’i (pasti)
maupun zanni (dugaan), tetapi pada
suatu masa telah sepakat (ijma’) mujtahidin atas
hukum-hukumnya
Seperti bagian kakek seperenam, dan batalnya perkawinan
seorang muslimah dengan laki-
laki non muslim. Di sini tidak ada jalan untuk ijtihad,
bahkan setiap muslim wajib mengakui
untuk menjalankannya. Karena hukum yang telah disepakati
oleh mujtahdidin itu adalah
hukum untuk seluruh umat, dan umat itu menurut Rasulullah
SAW tidak akan sepakat atas
sesuatu yang sesat. Mujtahidin merupakan ulil amri dalam
mempertimbangkan, sedangkan
Allah SWT menyuruh hambanya menaati ulil amri. Sungguhpun
begitu, kita wajib betul-
betul mengetahui bahwa pada huku itu telah terjadi ijma’
(sepakat) ulama mujtahidin.
Bukan hanya semata-mata hanyan didasarkan pada sangkaan
yang tidak berdasarkan
penelitian.
2. Hukum yang tidak ada dari nas, baik qat’i ataupun
zanni, dan tidak pula ada kesepakatan
mujtahidin atas hukum itu. Seperti yang banyak terdapat
dalam kitab-kitab fiqih mazhab.
Hukum seperti ini adalah hasil pendapat seorang mujtahid.
Pendapat menurut cara yang
sesuai denngan akal pikirannya dan keadaan lingkungannya
masing-masing diwaktu
terjadinya peristiwa itu. Hukum-hukum seperti itu tidak
tetap, mungkin berubah dengan
berubahnya keadaan atau tinjauannya masing-masing. Maka
mujtahid dimasa kini atau
sesduahnya berhak membantah serta menetapkan hukum yang
lain. Sebagaimana mujtahid
pertama telah memberi (menetapkan) hukum itu sebelumnya.
Ia pun dapat pula mengubah
hukum itu dengan pendapatnya yang berbeda dengan tinjauan
yang lain, setelah diselidiki
dan diteliti kembali pada pokok-pokok pertimbangannya.
Hasil ijtihad seperti ini tidak
wajib dijalankan oleh seluruh muslim. Hanya wajib bagi
mujtahid itu sendiri dan bagi
orang-orang yang meminta fatwa kepadanya, selama pendapat
itu belum diubahnya.
0 komentar:
Posting Komentar