Konsep Mayarakat Madani
BAB
11 dan 12 KONSEP MASYRAKAT MADANI
Konsep
Masyarakat Madani dalam Prespektif Islam
Madani
pertama kali berasal dari bahasa Arab dari terjemahan al-mujtama al-madany.
Kemudian
dicetuskan
oleh Naquib al-Attas, seorang guru besar sejarah dan peradaban Islam dari
Malaysia
yang
mengambil istilah tersebut dari karakteristik masyarakat Islam yang
diaktulisasikan
Rasulullah
di Madinah dengan fenomena saat ini. istilah tersbeut kemudian dibawa oleh
Anwar
Ibrahim,
Deputi Perdana Menteri dalam Festival Istiqlal September 1995.
Beliau
menjelaskan masyarakat madani pada kehidupan kontemporer seperti rasa kesediaan
untuk
saling menghargai dan memahami. Kemudian muncul beberapa karya-karya dari
intelektual
Muslim Indonesia, diantarnya Azyumardi Azra dengan bukunya “Menuju Masyarakat
Madani”
tahun 1999 dan Lukman Soetrisno dengan bukunya “Memberdayakan Rakyat dalam
Masyarkat
Madani” tahun 2000.
Konsep
masyarakat madani menurut prespektif Islam sudah diatur dalam Al-Quran yang dibagi
menjadi
3 jenis yait masyarakat terbaik (khairah ummah), masyarakat seimbang (ummatan
wasathan)
dan masyarakat moderat (ummah muqtashidah). Berikut adalah kutipan ayat yang
mengatur
ketiga jenis istiilah tersebut :
1.
Khairah Ummah dalam QS Ali Imran 3:110, yaitu :
كُنْتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا
لَهُمْ مِنْهُمُ
الْمُؤْمِنُونَ
وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya
: “Kamu adalah umat terbaik untuk seluruh umat manusia. Kamu menyuruh kepada
yang
ma’ruf,
mencegah yang munkar untuk beriman kepada Allah. Apabila Ahli kitab beriman,
maka
itu
lebih baik bagi mereka, ada yang beriman diantara mereka, dan kebanyakan mereka
adalah
fasik.”
2.
Ummatan wasathan dalam QS Al-Baqarah 2:143, yaitu :
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ
عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا
لِنَعْلَمَ مَنْ
يَتَّبِعُ
الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا
عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ
بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ
رَحِيمٌ
Artinya
: “Dan demikian Kami menjadikan umat Islam sebagai umat yang adil sebagai saksi
perbuatan
manusia dan Rasul adalah saksi perbuatan kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat
sebagai
kiblat mu keculai agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan yang
ingkat.
Dan
sungguh memindahkan kiblat ke berat adalah orang yang mendapat petunjuk dan
Allah
tidak
akan menyiakan imanmu. Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
3.
Ummah Muqtasidah dalam QS Al-Maidah 5:66k, yaitu :
وَلَوْ
أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ
لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ مِنْهُمْ أُمَّةٌ مُقْتَصِدَةٌ
وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ سَاءَ
مَا يَعْمَلُونَ
Artinya
: “Dan mereka menjalankan Taurat, Injil dan Al-Quran yang diturunkan Tuhannya,
mereka
mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah. Diantara mereka ada golongan
pertengaham.
Dan alangkah buruk yang dikerjakan mereka.”
Penjelasan
dari masing-masing ayat di atas adalah :
Konsep khairan ummah dalam QS Ali-Imran 3:110 adalah konsep masyarakat yang
ideal.
Mereka
ditugasi untuk mengembangkan beberapa fungsi diantaranya menyerukan kebaikan
dan
mencegah
terjadinya kemungkaran. Selain itu, mereka juga tidak boleh bercerai berai dan
saling
berselisih
paham. Al Quran telah memberikan Cara Meningkatkan Iman dan
Taqwa serta cara
berdamai
untuk memecahkan masalah internal yaitu metode syurah atau musyawarah, ishlah
atau
rekonsiliasi
dan berdakwah dnegan cara al-hikmah wa al-mujadalah bi allatu hiya ahsan yang
berarto
kebijaksanaan dan perundingan dengan cara baik.
Konsep ummatan wasathan dalam QS Al-Baqarah 2:143 menjelaskan bahwa masyarakat
seimbang
adalah masyarakat yang berada di posisi tengah-tengah yaitu menggabungkan yang
baik
dari yang bertentangan.
Konsep ummah muqtashidah dalam QS Al-Maidah 5:66 adalah masyarakat moderat
yakni
entitas
di kalangan ahli kitab dan posisi ummah yang minoritas. Artinya bahwa kelompok
tersebut
meskipun kecil, tetap dapat melakukan kebaikan dan perbaikan dan meminimalisir
kerusakan.
Hampir sama dengan ummatan wasathan bahwa keduanya memelihara penerapan
nilai-nilai
utama di tengah komunitas sekitar yang menyimpang. Yang membuat beda ummah
muqtashid
adalah komunitas agama Yahudi atau Nashrani, dan ummah wasath adalah komunitas
agama
sendiri yakni Islam.
Konsep-konsep
yang sudah dijelaskan tersebut sungguh telah diterapkan di Mdinah yang
dipimpin
oleh Nabi Muhammad SAW. Diterapkan setelah Nabi berhijrah dengan para sahabat
dan
dikeluarkannya Sahifah ay Watsiqah Madinah atau Piagam Madinah atau Madinah
Charter
yang
berisi hal-hal berikut ini :
1.
Asas kebebasan beragama yakni negara mengakui dan melindungi kelompok yang
beribadah
sesuai
dengan keyakinan masing-masing
2.
Asas persamaan yakni semua orang yang mempunyai kedudukan sama sebagai anggota
masyarakat
untuk saling membantu dan tidak boleh memperlakukan orang lain dengan buruk
3.
Asas kebersamaan yaitu anggota masyarakat memiliki hak dan kewajiban sama
kepada Negara
4.
Asas keadilan yaitu setiap warga negara memiliki kedudukan sama di hadapan
hukum dimana
hukum
harus ditegakkan
5.
Asas perdamaian yakni warga negara hidup berdaampingan tanpa perbedaan suku,
agama dan
ras
6.
Asas musyawarah yaitu semua permasalah yang terjadi di negara tersebut
diselesaikan melalui
dewan
syura
Karakteristik
Keislaman Pembangunan Masyarakat Madani
Rasulullah
mengajarkan tiga karakteristik keislaman yang menjadi akar pembangunan
masyarakat
madani, diantaranya :
1.
Islam humanis
Islam
yang humanis berarti bahwa ajaran Islam yang diberikan oleh Rasulullah adalah
kompatibel
dengan fitrah manusia. Allah berfirman dalam QS Al-Rum ayat 30 yang artinya :
“Maka
hadapkan wajah dengan lurus pada agama Allah, tetap berada pada fitrah Allah
yang
telah
emnciptaka manusia sesuaai dengan fitrahnya.
Tidak
ada yang berubah pada fitrah Allah, tetapi manusia tidak mengetahuinya.” Oleh
karena itu,
ajaran
Islam yang disampaikan oleh Rasulullah mudah diterima oleh nalar dan naluri
umat
manusia.
1.
Islam Moderat
Adalah
keseimbangan ajaran Islam yang diterapkan dalam berbagai kehidupan manusia baik
secara
vertikal maupun horizontal. Kemoderatan inin yang membuat ajaran Islam berbeda
dengan
ajaran lainnya.
Dalam
sejarahnya, karakteristik ini diaplikasikan sempurna dalam diri manusia. Jadi,
kemoderatan
adlaah salah satu karakteristik fundamental agama Islam sebagai agama yang
sangat
kompatibel dengan naluri dan fitrah manusia.
Dari
asas kemoderatan inilah, konsepsi kemasyarakatn menjadi konsep yang utuh untuk
membangun
masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai dan kemormaan dalam Islam.
3.
Islam Toleran
Kata
toleran di dalam ajaran Islam berkaitan dengan penganut agama Islam sendri dan
penganut
agama
lain. Apabila dikaitkan dengan kaum muslimin, maka toleran berarti kelonggaran,
kemudahan
dan fleksibilitas Islam. Sebab pada hakikatnya ajaran Islam mudah sekali untuk
disampaikan
dan diaktulisasikan kepada umat manusia.
Demikian
konsep masyarakat madani pada prespektif Islam. Semoga bermanfaat.
PENGERTIAN
MASYARAKAT MADANI
Masyarakat
madani atau civil society secara umum bisa diartikan sebagai suatu
masyarakat
atau institusi sosial yang memiliki ciri-ciri antara lain : kemandirian,
toleransi,
keswadayaan,
kerelaan menolong satu sama lain, dan menjunjung tinggi norma dan etika yang
disepakati
secara bersama-sama (Din Syamsudin, 1998 : 12). Sebenarnya masyarakat madani
secara
substansial sudah ada sejak zaman Aristoteles, yakni suatu masyarakat yang
dipimpin dan
tunduk
pada hukum. Penguasa, rakyat dan siapapun harus taat dan patuh pada hukum yang
telah
dibuat
secara bersama-sama. Bagi Aristoteles, siapapun bisa memimpin negara secara
bergiliran
dengan syarat ia bisa berbuat adil. Dan keadilan baru bisa ditegakkan apabila
setiap
tindakan
didasarkan pada hukum. Jadi hukum merupakan ikatan moral yang bisa membimbing
manusia
agar senantiasa berbuat adil.
Dalam
mendefinisikan masyarakat madani ini sangat tergantung pada kondisi sosio-
kultural
suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat madani merupakan bangunan
yang
lahir dari sejarah pergulatan bangsa Eropa Barat. Sebagai titik tolak, disini
akan
dikemukakan
beberapa definisi masyarakat dari berbagai pakar di berbagai negara yang
menganalisa
dan mengkaji fenomena masyarakat madani ini
1.
Menurut Zbigniew Rau, masyarakat madani merupakan suatu masyarakat yang
berkembang
dari
sejarah, yang mengandalkan ruang dimana individu dan perkumpulan tempat mereka
bergabung,
bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini.
Ruang
ini timbul di antara hubungan-hubungan yang merupakan hasil komitmen keluarga
dan
hubungan-hubungan
yang menyangkut kewajiban mereka terhadap negara. Lebih tegasnya
terdapat
ruang hidup dalam kehidupan sehari-hari serta memberikan integritas sistem
nilai yang
harus
ada dalam masyarakat madani, yakni individualisme, pasar dan pluralisme.
2.
Menurut Han Sung-joo, masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang
melindungi
dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari
negara,
suatu ruang pablik yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga
negara
yang
mampu mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui
norma-
norma
dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada
akhirnya
akan
terdapat kelompok inti dalamnya.
3.
Menurut Kim Sunhyuk, masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari
kelompok-
kelompok
yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat
yang
secara relatif otonom dari negara, yang merupakan satuan-satuan dasar dari
reproduksi dan
masyarakat
politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam ruang publik, guna
menyatakan
kepedulian mereka dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka menurut
prinsip-prinsip
pluralisme dan pengelolaan yang mandiri.
Dari
berbagai batasan di atas, jelas merupakan suatu analisa dari kajian kontekstual
terhadap
performa yang diinginkan dalam mewujudkan masyarakat madani. Hal tersebut dapat
dilihat
dari perbedaan penekanan dalam mensyaratkan idealisme masyarakat madani. Akan
tetapi
secara
global dari ketiga batasan di atas dapat ditarik benang emas, bahwa yang
dimaksud
dengan
masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri
secara
mandiri
dihadapan penguasa dan negara, memiliki ruang publik dalam mengemukakan
pendapat,
adanya
lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan
publik.
Menurut
Rahardjo (1996) masyarakat madani identik dengan cita-cita Islam membangun
ummah.
Masyarakat madani adalah suatu ruang (realm) partisipasi masyarakat
melalui
perkumpulan-perkumpulan
sukarela (voluntary association) melalui organisai-organisasi massa.
Masyarakat
madani dan negara bergantung mana yang dianggap primer dan mana yang
sekunder.
Sepertinya menurut pendapat tersebut, hak berserikat merupakan prinsip dalam
kehidupan
bermasyarakat.
Kelompok-kelompok
masyarakat tercipta tiada lain untuk terjadi integrasi dalam
membangun
manyarakat yang berperadaban. Sementara itu secara filosofis Yusuf (1998)
memandang
masyarakat madani membangun kehidupan masyarakat beradab yang ditegakkan di
atas
akhlakul karimah, masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis dengan landasan
ketaqwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Kualitas manusia bertaqwa secara
essensial
adalah manusia yang memelihara hubungan dengan Allah SWT (habl min Allah)
dan
hubungannya
dengan sesama manusia (habl min al-nas). Akhlakul karimah dapat terwujud
manakala
masing-masing individu dan kelompok masyarakat terjadi saling membelajarkan
atau
berperan
sebagai pembawa kearah kebenaran yang digariskan oleh Allah. Karena Tuhan tidak
akan
merubah nasib suatu kaum manakala mereka tidak berbuat ke arah perbaikan yang
dikehendakinya.
Masyarakat
madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan sosial
yang
mengedepankan semangat demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi
manusia.
Dalam
masyarakat madani, warga negara bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan
produktif
dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat non-govermental untuk mencapai
kebaikan
bersama.
Karena itu, tekanan sentral masyarakat madani adalah terletak pada
independensinya
terhadap
negara. Masyarakat madani berkeinginan membangun hubungan
yang konsultatif bukan konfrontatif antara
warga negara dan negara. Masyarakat madani juga
tidak
hanya bersikap dan berperilaku sebagai citizen yang memiliki hak dan
kewajiban,
melainkan
juga harus menghormatiequal right, memperlakukan semua warga negara
sebagai
pemegang
hak kebebasan yang sama.
Disinilah
kemudian, masyarakat madani menjadi alternative pemecahan, dengan
pemberdayaan
dan penguatan daya kontrol masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah
yang
pada akhirnya nanti terwujud kekuatan masyarakat sipil yang mampu
merealisasikan dan
mampu
menegakkan konsep hidup yang demokratis dan menghargai hak-hak asasi
manusia.Masyarakat
madani dipercaya sebagai alternatif paling tepat bagi demokratisasi,
terutama
di negara yang demokrasinya mengalami ganjalan akibat kuatnya hegemoni negara.
Tidak
hanya itu, masyarakat madani kemudian juga dipakai sebagai cara pandang
untuk
memahami
universalitas fenomena demokrasi di berbagai negara.
II. KARAKTERISTIK
MASYARAKAT MADANI
Karakteristik
ini yang merupakan prasyarat untuk merealisasikan wacana masyarakat
madani
tidak bisa dipisahkan satu sama lain, dan merupakan satu kesatuan yang
terintegral dan
menjadi
dasar serta nilai bagi masyarakat. Adapun karakteristiknya, menurut Arendt dan
Habermas,
antara lain :
1.
Free Public Sphere, adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam
mengemukan
pendapat.
Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu
melakukan
transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan
kekhawatiran.
Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan
masyarakat
madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free publik
sphere menjadi salah
satu
bagian yang harus diperhatikan. Karena dengan menafikan adanya ruang publik
yang bebas
dalam
tatanan masyarakat madani, maka akan memungkinkan terjadinya pembungkaman
kebebasan
warga Negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan
umum
oleh penguasa yang tiranik dan otoriter.
2. Demokratis,
merupakan suatu entitas yang menjadi penegak yang menjadi penegak wacana
masyarakat
madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan
penuh
untuk menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk berinteraksi dengan
lingkungan
sosialnya.
3. Toleran,
merupakan sikap yang dikembangankan dalam masyarakat madani untuk
menunjukan
sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang
lain.
4. Pluralisme, adalah
pertalian sejati kebhenikaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan
pluralisme
adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui
mekanisme
pengawasan dan pengimbangan,
5. Keadilan
Sosial, dimaksudkan adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional
terhadap
hak dan kewajiban setiap warga Negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan.
III. MASYARAKAT
MADANI DALAM PANDANGAN ISLAM
Dalam
perspektif Islam, civil society lebih mengacu kepada penciptaan
peradaban.
Kata al-din,
yang umumnya diterjemahkan sebagai agama, berkaitan
denganterma al-
tamaddun atau
peradaban. Keduanya menyatu ke dalam pengertian al-madinahyang arti
harfiahnya
adalah kota. Dengan demikian, masyarakat madani mengandung tiga hal,
yakni: agama,
peradaban, dan perkotaan. Dari konsep ini tercermin bahwa agama merupakan
sumbernya,
peradaban sebagai prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya.
Secara
etimologis, madinah adalah derivasi dari kosakata Arab yang mempunyai
dua
pengertian. Pertama, madinah berarti
kota atau disebut dengan "masyarakat kota”.Kedua,
“masyarakat
berperadaban” karena madinah adalah juga derivasi dari
katatamaddun atau madaniyah yang
berarti “peradaban”, yang dalam bahasa Inggris dikenal
sebagai civility dan civilization. Kata
sifat dari kata madinah adalah madani (Sanaky, 2002:30).
Adapun
secara terminologis, masyarakat madani adalah komunitas Muslim pertama di
kota
Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasul Allah SAW dan diikuti oleh
keempat al-
Khulafa al-Rasyidun.
Masyarakat madani yang dibangun pada zamanNabi Muhammad SAW
tersebut
identik dengan civil society, karena secara sosio-kultural mengandung
substansi
keadaban
atau civility. Model masyarakat ini sering dijadikan model masyarakat
modern,
sebagaimana
yang diakui oleh seorang sosiolog Barat, Robert N. Bellah, dalam
bukunya The Beyond of Belief (1976).
Bellah, dalamlaporan penelitiannya terhadap agama-
agama
besar di dunia, mengakui bahwa masyarakat yang dipimpin Rasul
Allah SAW itu
merupakan
masyarakat yang sangat modern untuk zaman dan tempatnya, karena masyarakat
Islam
kala itu telah melakukan lompatan jauh ke depan dengan kecanggihan tata sosial
dan
pembangunan
sistem politiknya (Hatta, 2001:1).
Nabi
Muhammad SAW melakukan penataan negara tersebut, dengan
cara:pertama, membangun
infrastruktur negara dengan masjid sebagai simbol dan perangkat
utamanya. Kedua, menciptakan
kohesi sosial melalui proses persaudaraan antara dua komunitas
yang
berbeda, yaitu Quraisy dan Yatsrib, serta
komunitas Muhajirin danAnshar dalam bingkai
solidaritas keagamaan. Ketiga, membuat
nota kesepakatan untuk hidup berdampingan dengan
komunitas
lain, sebagai sebuah masyarakat pluralistik yang mendiami wilayah yang sama,
melalui
Piagam Madinah. Keempat, merancang sistem negara melalui konsep jihad
fi
sabilillah (berjuang
di jalan Allah).
Dengan
dasar ini, negara dan masyarakat Madinah yang dibangun oleh
NabiMuhammad SAW
merupakan negara dan masyarakat yang kuat dan solid. Peristiwa hijrah
telah
menciptakan keberagaman penduduk Madinah. Penduduk Madinah tidak terdiri dari
Suku
Aus,
Khazraj dan Yahudi saja, tetapi juga Muhajirin Quraisy dan suku-suku
Arab
lain. Nabi SAW menghadapi
realitas pluralitas, karena dalam struktur masyarakat Madinah yang
baru
dibangun terdapat beragam agama, yaitu: Islam, Yahudi, Kristen,
Sabi’in, dan
Majusi—ditambah ada pula yang
tidak beragama (atheis) dan bertuhan banyak (polytheis).
Struktur
masyarakat yang pluralistik ini dibangun oleh Nabi SAW di atas
pondasi ikatan iman
dan
akidah yang nilainya lebih tinggi dari solidaritas kesukuan (ashabiyah) dan
afiliasi-
afiliasi lainnya.
Selain
itu, masyarakat pada saat itu terbagi ke dalam beberapa kelompok yang
didasarkan
atas ikatan keimanan,
yaitu: mu'minun, munafiqun, kuffar, musyrikun, dan Yahudi.
Dengan kata
lain, masyarakat
Madinah pada saat itu merupakan bagian dari komunitas masyarakat yang
majemuk
atau plural. Kemajemukan masyarakat Madinah diawali dengan membanjirnya
kaum Muhajirin dari
Makkah, hingga kemudianmengakibatkan munculnya persoalan-persoalan
ekonomi
dan kemasyarakatan yang harus diantisipasi dengan baik. Dalam konteks
itu, sosialisasi
sistem
persaudaraan menjadi kebutuhan mendesak yang harus diwujudkan.
Untuk
mengatasi persoalan tersebut, Nabi Muhammad SAW bersama semua unsur
penduduk
madinah secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat Madinah yang mengatur
kehidupan
dan hubungan antarkomunitas, yang merupakan komponen masyarakat majemuk di
Madinah.
Kesepakatan hidup bersama yang dituangkan dalam suatu dokumen yang dikenal
sebagai
“Piagam Madinah” (Mitsaq al-Madinah) dianggap sebagai konstitusi tertulis
pertama
dalam
sejarah manusia. Piagam ini tidak hanya sangat maju pada masanya, tetapi juga
menjadi
satu-satunya
dokumen penting dalam perkembangan konstitusional dan hukum di dunia.
Dalam
dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain,
kepada
wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, serta tanggung jawab
sosial
dan
politik, khususnya pertahanan secara bersama. Dalam piagam tersebut juga
ditempatkan hak-
hak
individu, yaitu kebebasan memeluk agama, persatuan dan kesatuan, persaudaraan
(al-
ukhuwwah)
antaragama, perdamaian, toleransi, keadilan (al-'adalah), tidak
membeda-bedakan
(anti
diskriminasi), dan menghargai kemajemukan.
Dengan
kemajemukan tersebut, Nabi Muhammad SAW mampu mempersatukan mereka.
Fakta
ini didasarkan pada: pertama, mereka hidup dalam wilayah Madinah sebagai
tempat untuk
hidup
dan bekerja bersama. Kedua, mereka bersedia dipersatukan dalam satu
umat untuk
mewujudkan
kerukunan dan kemaslahatan secara bersama-sama.Ketiga, mereka menerima
Muhammad
SAW sebagai pemimpin tertinggi dan pemegang otoritas politik yang legal dalam
kehidupan.
Otoritas tersebut juga dilengkapi dengan institusi peraturan yang
disebut Piagam
Madinah
yang berlaku atas seluruh individu dan setiap kelompok.
Dalam
konstitusi Piagam Madinah, secara umum masyarakat berada dalam satu ikatan
yang
disebut ummah. Yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai
kelompok sosial yang
disatukan
dengan ikatan sosial dan kemanusiaan yang membuat mereka bersatu
menjadi ummah
wahidah.
Oleh karena itu, perbedaan agama bukan merupakan penghambat dalam mencipatakan
suasana
persaudaraan dan damai dalam masyarakat plural.
Muhammad
Abduh dalam tafsirnya, al-Manar, mengakui bahwa agama bukanlah satu-
satunya
faktor ikatan sosial dalam suatu umat, melainkan ada faktor universal
yangdapat mendukung terwujudnya
suatu umat, yaitu unsur kemanusiaan. Karenanya unsur
kemanusiaan
sangat dominan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk
politik.
Demikian juga Muhammad Imarah, dalam karyanya berjudul Mafhum al-Ummah fi
Hadharat
al-Islam, menyatakan bahwa umat yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW di
Madinah
merupakan umat yang sekaligus bersifat agama dan politik (Bahri,
2001).
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa umat yang dibentuk Nabi Muhammad SAW di
kota
Madinah bersifat terbuka, karena Nabi mampu menghimpun semua komunitas atau
golongan
penduduk Madinah, baik golongan yang menerima risalah tauhid beliau maupun yang
menolak.
Perbedaan
akidah atau agama di antara mereka tidak menjadi alasan untuk tidak bersatu-
padu
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, gagasan dan
praktik
membentuk
satu umat dari berbagai golongan dan unsur sosial pada masa itu merupakan
sesuatu
yang
baru, yang belum pernah dilakukan oleh kelompok masyarakat manapun sehingga
seorang
penulis
Barat, Thomas W Arnold menganggapnya sebagai awal dari kehidupan berbangsa
dalam
Islam,
atau merupakan kesatuan politik dalam bentuk baru yang disatukan oleh Piagam
Madinah
(Mitsaq al-Madinah).
Konstitusi
Piagam Madinah, yang berjumIah 47 pasal itu (Sukardja, 1995:47-57), secara
formal
mengatur hubungan sosial antarkomponen dalam masyarakat. Pertama,
antar sesama
Muslim.
Bahwa sesama Muslim itu satu umat walaupun mereka berbeda suku. Kedua,
hubungan
antara
komunitas Muslim dengan non-Muslim didasarkan pada prinsip bertetangga yang
baik,
saling
membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling
menasihati, dan
menghormati kebebasan beragama. Dari Piagam Madinah ini, setidaknya ada
dua
nilai dasar yang tertuang sebagai dasar atau fundamental dalam mendirikan dan
membangun
negara
Madinah.Pertama, prinsip kesederajatan dan keadilan (al-musawah wa al-
’adalah). Kedua,
inklusivisme atau keterbukaan. Kedua prinsip ini, ditanamkan dalam bentuk
beberapa
nilai humanis universal lainnya, seperti konsistensi (iltizam), seimbang
(tawazun),
moderat
(tawassut), dan toleransi (tasamuh). Kesemuanya menjadi landasan ideal
sekaligus
operasional
dalam menjalin hubungan sosial-kemasyarakatan yang mencakup semua aspek
kehidupan,
baik politik, ekonomi maupun hukum.
Pada
masa awal Nabi SAW membangun Madinah, peran kelompok-kelompok masyarakat
cukup
besar dalam pengambilan keputusan, sebagaimana tercermin dalam Piagam Madinah.
Tetapi
seiring dengan semakin banyaknya wahyu yang turun, sistem negara Madinah masa
Nabi
kemudian
berkembang menjadi “sistem teokrasi”. Negara, dalam hal ini dimanifestasikan
dalam
figur
Nabi SAW yang memiliki kekuasaan amat besar, baik kekuasaan eksekutif,
legislatif
maupun
yudikatif. Segala sesuatu pada dasarnya dikembalikan kepada Nabi SAW, dan
ketaatan
umat
kepada Nabi SAW pun semakin mutlak sehingga tidak ada kemandirian lembaga
masyarakat
berhadapan dengan negara.
Meskipun
demikian, berbeda dengan umumnya penguasa dengan kekuasaan
besar yang cenderung
despotik (sewenang-wenang), Nabi SAW justru meletakkan nilai-nilai
dan
norma-norma
keadilan, persamaan, persaudaraan, dan kemajemukan yang menjadi dasar
dalam
kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, di samping mendukung keterlibatan masyarakat
(sahabat)
dalam pengambilan keputusan secara musyawarah.
Pada
masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, sistem negara tidak lagi berbentuk teokrasi
melainkan
“nomokrasi”, yaitu prinsip ketuhanan yang diwujudkan dalam bentuk supremasi
syariat.
Namun peran masyarakat menjadi lebih besar, di mana hal itumengindikasikan
mulai terbangunnya
masyarakat madani. Mereka melakukan kontrol terhadap pemerintah, dan
rekrutmen
kepemimpinan pun yang didasarkan pada kapasitas individual. Tetapi,
setelah
masa al-Khulafa’
al-Rasyidun, situasi mulai berubah, peran masyarakat mengalami penyusutan,
rekrutmen
pimpinan tidak lagi berdasarkan pilihan rakyat (umat), melainkan atas dasar
keturunan.
Lembaga keulamaan merupakan satu-satunya lembaga masyarakat madani yang
masih
relatif independen. Pada masa kekhilafahan, yakni dari masa al-Khulafa’
al-
Rasyidun sampai
menjelang runtuhnyaDinasti Ustmani akhir abad ke-19, umat
Islam telah
memiliki
struktur religio-politik (politik berbasis agama) yang mapan, yakni
lembaga legislatif
dipegang
oleh ulama. Mereka memiliki kemandirian dalam
berijtihad dan menetapkan hukum.
Dari
pandangan ini, tercermin bahwa sebenarnya masyarakat madani yang bernilai
peradaban
itu dibangun setelah Nabi Muhammad SAW melakukan reformasi dan
transformasi
pada
individu yang berdimensi akidah, ibadah, dan akhlak. Dalam praktiknya,
iman dan
moralitaslah
yang menjadi landasan dasar bagi Piagam Madinah. Prinsip-prinsip dan
nilai-nilai
tersebut
menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, dan hukum
pada
masa
Nabi SAW.
Posisi
Piagam Madinah adalah sebagai kontrak sosial antara Nabi Muhammad SAW
dengan penduduk Madinah
yang terdiri dari pendatang Quraisy, kaum lokalYastrib, dan
orang-
orang
yang menyatakan siap berjuang bersama mereka. Posisi RasulSAW adalah
sebagai
pimpinan
yang mereka akui bersama, dan telah meletakkan Islam sebagai landasan
bermasyarakat
dan bernegara. Itulah sebabnya penjanjian tersebut, dalam konteks teori
politik, disebut
sebagai Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah. Di dalamnya, terdapat
pasal-
pasal
yang menjadi hukum dasar sebuah negara kota yangkemudian disebut Madinah
(al-
Madinah
al-Munawarah atau Madinah al-Nabi). Nilai-nilai yang tercermin dalam
masyarakat
Madinah
saat itu pastilah nilai-nilai Islami yang tertuang di dalam Piagam Madinah.
Kontrak
sosial yang dilakukan Nabi SAW itu dinilai identik dengan
teori Social
Contract dari
Thomas Hobbes, berupa perjanjian masyarakat yang menyatakan sumber
kekuasaan
pemerintah adalah perjanjian masyarakat. Pemerintah memiliki kekuasaan,karena
adanya
perjanjian masyarakat untuk mengurus mereka. Teori Social
Contract J.J. Rousseau
bahwa
otoritas rakyat dan perjanjian politik harus dilaksanakan untuk menentukan masa
depan
rakyat
serta menghancurkan monopoli yang dilakukan oleh kaum elite yang berkuasa atas
nama
kepentingan
rakyat, juga identik dengan teori Nabi Muhammad SAW ketika membangun
ekonomi
dengan membebaskan masyarakat dari cengkeraman kaum kapitalis.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa masyarakat Madinah yang dibangun Nabi SAW
itu sebenarnya
identik dengan civil society, karena secara sosio-kultural mengandung
substansi
keadaban
atau peradaban. Nabi SAW menjadikan masyarakat Madinah pada saat itu
sebagai classless
society (masyarakat tanpa kelas), yakni tidak membedakan
antara si kaya
dan si miskin,
pimpinan dan bawahan—di mana seluruhnyasama dan
sejajar di hadapan hukum.
Dari
uraian di atas, secara terminologis masyarakat madani yang berkembang
dalam konteks Indonesia
setidaknya berada dalam dua pandangan, yakni: masyarakat Madinah
dan
masyarakat sipil (civil society). Keduanya tampak berbeda, tetapi sama.
Berbeda, karena
memang
secara historis keduanya mewakili budaya yang berbeda, yakni masyarakat Madinah
yang
mewakili historis peradaban Islam. Sedangkan masyarakat sipil adalah hasil dari
peradaban
Barat,
seperti telah dipaparkan di atas. Perbedaan lainnya, masyarakat Madinah menjadi
tipe
ideal
yang sangat sempurna, karena komunitas masyarakat dipimpin langsung oleh
Nabi Muhammad SAW.
Apabila
masyarakat madani diasosiasikan sebagai penguat peran masyarakat sipil, maka
masyarakat
madani hanya bertahan di era empat al-Khulafa’ al-Rasyidun.Setelah
itu, masyarakat
Islam
kembali kepada masa monarki, di mana penguasaan negara (state power) kembali
menjadi
besar,
dan peran masyarakat (society participation) menjadi kecil. Oleh sebab itu,
ketiga prinsip
yang
dikemukakan di atas, dapat dikatakan sebagai elemen penting terbentuknya
“masyarakat
madani”,
yaitu masyarakat yang memegang teguh ideologi yang benar, berakhlak mulia,
bersifat
mandiri
secara kultural-politik-ekonomi, memiliki pemerintahan sipil, memiliki prinsip
kesederajatan
dan keadilan, serta prinsip keterbukaan.
Timbul
pertanyaan, nilai substansial seperti apakah yang dapat mewakili kecenderungan
masyarakat
Madinah? Apabila dikaji secara umum, setidaknya nilai subtansial dari semangat
Islam
dalam pemberdayaan masyarakat mencakup tiga pilar utama, yakni: musyawarah
(syura),
keadilan (‘adl), dan
persaudaraan (ukhuwwah). Sedangkan masyarakat sipil (civil society)
bermula
dari semangat dan pergumulan pemikiran masyarakat Barat untuk mengurangi
peranan
negara (state) dalam
kehidupan masyarakat.
Seperti
diketahui bahwa pada abad pertengahan masyarakat Barat dikuasai oleh dua
kekuatan
yang sangat dominan, yakni gereja dan kerajaan-kerajaan. Sehingga para
sejarahwan
Barat
menyebutnya sebagai Abad Kegelapan (the Dark Ages). Selanjutnya,
muncul gerakan
perlawanan
dari para ilmuwan yang menghadirkan gerakan sekularisme dan humanisme, di mana
mereka
menyatakan lepas dari keyakinan gereja, dan manusia dianggap sebagai pusat
segalanya
(antrophosentris).
Dengan
demikian, ada konsep baru yang ditawarkan Nabi SAW bahwa negara itu
melampaui
batas-batas wilayah geografis. Negara itu lebih cocok dengan nilai-nilai
dasar
kemanusiaan (basic
values of humanity), sebab yang menjadi dasar utama kewarganegaraannya
bukan
nasionalisme, suku, ras atau pertalian darah. Tetapi manusia dapat memilih
konsep hidup
tertentu
atau akidah tertentu. Manusia secara bebas dan merdeka menentukan pilihan
akidahnya, tanpa
ada tekanan dan paksaan dari pihak manapun dan oleh siapa pun. Negara baru
yang
dibangun Nabi SAW adalah negara ideologi yang didasarkan pada asas
kemanusiaan yang
terbuka,
sesuai dengan firman Allah SWTdalam Q.S. al-Baqarah:256.
لَا إِكْرَاهَ
فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
“Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar
dari jalan yang sesat.”
Dengan
demikian, konsep negara yang ditawarkan Nabi SAW benar-benar baru dan
orisinil,
karena negara menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Di dalamQ.S.
al-
Saba’:15,
Allah SWT mengilustrasikan profil masyarakat ideal sebagai berikut:
بَلْدَةٌ
طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
"Sebuah
negeri yang aman sentosa dan masyarakatnya terampuni dosanya.
0 komentar:
Posting Komentar