Jumat, 01 Maret 2019

Konsep Ketuhanan Dalam Islam


BAB 1 KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM
FILSAFAT KETUHANAN
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos
yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau
hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah
itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan
perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan
bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat,
dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. (Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat
Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1990, Hlm. 45)
Sementara itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami
perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal sebagai orang
yang pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa kutipan di atas dapat
diketahui bahwa pengertian filsafat dari segi kebahasan atau semantik adalah cinta terhadap
pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas
yang menempatkan pengetahuan atau kebikasanaan sebagai sasaran utamanya.
Keimanan dalam Islam merupakan aspek ajaran yang fundamental, kajian ini harus
dilaksanakan secara intensif. Keimanan kepada Allah SWT, kecintaan, pengharapan, ikhlas,
kekhawatiran, tidak dalam ridho-Nya, tawakkal nilai yang harus ditumbuhkan secara subur
dalam pribadi muslim yang tidak terpisah dengan aspek pokok ajaran yang lain dalam Islam.
Muslim yang baik memiliki kecerdasan intelektual sekaligus kecerdasan spiritual (QS.
Ali Imran: 190-191) sehingga sikap keberagamaannya tidak hanya pada ranah emosi tetapi
didukung kecerdasan pikir atau ulul albab. Terpadunya dua hal tersebut insya Allah menuju dan
berada pada agama yang fitrah. (QS.Ar-Rum: 30).
Jadi, filsafat Ketuhanan dalam Islam bisa diartikan juga yaitu kebijaksanaan Islam untuk
menentukan Tuhan, dimana Ia sebagai dasar kepercayaan umat Muslim.

A.     Siapakah Tuhan itu?
Perkataan ilah, yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk menyatakan
berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS : 45 (Al-
Jatsiiyah) : 23, yaitu:

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا
تَذَكَّرُونَ (٢٣)
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan
Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan
hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya
petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran?
Dalam QS : 28 (Al-Qashash) : 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا أَيُّهَا الْمَلأ مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِي فَأَوْقِدْ لِي يَا هَامَانُ عَلَى الطِّينِ فَاجْعَلْ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَطَّلِعُ إِلَى إِلَهِ مُوسَى
وَإِنِّي لأظُنُّهُ مِنَ الْكَاذِبِينَ (٣٨)
dan berkata Fir'aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain aku.
Maka bakarlah Hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang
Tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan Sesungguhnya aku benar-benar yakin
bahwa Dia Termasuk orang-orang pendusta".
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti
berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi) maupun benda nyata (Fir’aun atau
penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam Al-Quran juga dipakai dalam bentuk
tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Derifasi
makna dari kata ilah tersebut mengandung makna bahwa ‘bertuhan nol’ atau atheisme adalah
tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan
logika Al-Quran sebagai berikut:
Tuhan (Ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian
rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya. Perkataan dipentingkan hendaklah
diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan
dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti
akan mendatangkan bahaya atau kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-Ilah sebagai berikut:
Al-Ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya, merendahkan diri di
hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam
kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan

dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya
(M. Imaduddin, 1989 : 56)
Atas dasar definisi ini, tuhan bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan manusia. Yang
pasti, manusia tidak mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-tuhan. Berdasarkan logika Al-
Quran, setiap manusia pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan begitu, orang-orang
komunis pada hakikatnya ber-tuhan juga. Adapun tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan
(utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “laa ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat tersebut
dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan penegasan
“melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri dari segala
macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu
Allah SWT.
Untuk lebih jelas memahami tentang siapakah Allah, DR. M. Yusuf Musa menjelaskan
dalam makalahnya yang berjudul “Al Ilahiyyat Baina Ibnu Sina wa Ibnu Rusyd” yang telah di
edit oleh DR. Ahmad Daudy, MA dalam buku Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam. Beliau
mengatakan : Dalam ajaran Islam, Allah SWT adalah pencipta segala sesuatu ; tidak ada sesuatu
yang terjadi tanpa kehendak-Nya, serta tidak ada sesuatu yang kekal tanpa pemeliharaan-Nya.
Allah SWT mengetahui segala sesuatu yang paling kecil dan paling halus sekali pun. Ia yang
menciptakan alam ini, dari tidak ada kepada ada, tanpa perantara dari siapa pun. Ia memiliki
berbagai sifat yang maha indah dan agung.

B.     Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan
          1. Pemikiran Barat

Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang
didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang
bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal
teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat
sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan
oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan
Javens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah
sebagai berikut:

a.  Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang
berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada
benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada
pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang
berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti (India).
b. Animisme
Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya
telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa
senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena
efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang
sesuai dengan saran dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
c.  Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena
terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian
disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada
dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada yang
membidangi angin dan lain sebagainya.
d. Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan, terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena
itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan
yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu).
Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih
mengakui tuhan (ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu tuhan untuk satu bangsa disebut dengan
Henoteisme (Tuhan Tingkat Nasional).
e.  Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk Henoteisme melangkah menjadi Monoteisme. Dalam
Monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk
Monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham, yaitu: deisme, panteisme,
dan teisme.

Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max
Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya
monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya
rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan
pada wujud yang agung dan sifat-sifat yang khas terhadap tuhan mereka, yang tidak mereka
berikan kepada wujud yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan evolusionisme
menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang
evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka
menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau
wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam
kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan
bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan
monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993 : 26-27).
         2.  Pemikiran Umat Islam

Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu
Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul beberapa periode setelah wafatnya Nabi Muhammad
SAW. Yakni pada saat terjadinya peristiwa tahkim antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan
kelompok Mu’awiyyah. Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada
pula yang bersifat di antara keduanya. Sebab timbulnya aliran tersebut adalah karena adanya
perbedaan metodologi dalam memahami Al-Quran dan Hadis dengan pendekatan kontekstual
sehingga lahir aliran yang bersifat tradisional. Sedang sebagian umat Islam yang lain memahami
dengan pendekatan antara kontektual dengan tektual sehingga lahir aliran yang bersifat antara
liberal dengan tradisional. Aliran-aliran tersebut yaitu :
a.    Mu’tazilah
Merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, serta menekankan pemakaian akal pikiran
dalam memahami semua ajaran dan keimanan dalam Islam. Dalam menganalisis ketuhanan,
mereka memakai bantuan ilmu logika Yunani, satu sistem teologi untuk mempertahankan
kedudukan keimanan. Mu’tazilah lahir sebagai pecahan dari kelompok Qadariah, sedang
Qadariah adalah pecahan dari Khawarij.
b.    Qodariah

Berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat.
Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal itu yang
menyebabkan manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
c.    Jabariah
Berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat.
Semua tingkah laku manusia ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan. Aliran ini merupakan pecahan
dari Murji’ah
d.   Asy’ariyah dan Maturidiyah
Hampir semua pendapat dari kedua aliran ini berada di antara aliran Qadariah dan Jabariah.
Semua aliran itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam kalangan umat Islam periode
masa lalu. Pada prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas tidak bertentangan dengan ajaran dasar
Islam. Oleh karena itu umat Islam yang memilih aliran mana saja diantara aliran-aliran tersebut
sebagai teologi mana yang dianutnya, tidak menyebabkan ia keluar dari Islam. Menghadapi
situasi dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, umat Islam perlu mengadakan koreksi
ilmu berlandaskan al-Quran dan Sunnah Rasul, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik
tertentu.

2.  PEMBUKTIAN WUJUD TUHAN

Adanya alam organisasinya yang menakjubkan dan rahasianya yang pelik, tidak boleh
memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya, suatu akal yang
tidak ada batasnya. Setiap manusia normal percaya bahwa dirinya “ada” dan percaya pula bahwa
alam ini “ada”. Dengan dasar itu dan dengan kepercayaan inilah dijalani setiap bentuk kegiatan
ilmiah dan kehidupan.
            Jika percaya tentang eksistensi alam, maka secara logika harus percaya tentang adanya
Pencipta Alam. Pernyataan yang mengatakan: percaya adanya makhluk, tetapi menolak adanya
Khaliq adalah suatu pernyataan yang tidak benar. Belum pernah diketahui adanya sesuatu yang
berasal dari tidak ada tanpa diciptakan. Segala sesuatu bagaimanapun ukurannya, pasti ada
penyebabnya. Oleh karena itu bagaimana akan percaya bahwa alam semesta yang demikian
luasnya, ada dengan sendirinya tanpa pencipta ?

Dalam al-Quran, penggambaran tentang pengakuan akan eksistensi Tuhan dapat
ditemukan dalam Q.S al-Ankabut, 29: 61-63. Dalam ayat 61-63 dijelaskan bahwa: “bangsa arab
yang penyembah berhala tidak menolak eksistensi pencipta langit dan bumi.
            Berdasarkan kandungan ayat ini, dapat dipahami bahwa bangsa arab sesungguhnya telah
memahami dan meyakini akan eksistensi Tuhan sebagai pencipta langit dan bumi serta
pengaturnya. Namun menurut al-Quran, ada segelintir anak manusia yang menolak  eksistensi
tuhan, seperti penggambaran al-Quran dalam Q.S. al-Jasyiah (45): 24. Ayat ini  menegaskan
bahwa: “mereka berkata: “ kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan didunia saja, kita mati
dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” Penolakan akan eksistensi
tuhan oleh sebagian kecil manusia itu, hanya didasarkan pada dugaan semata dan tidak
didasarkan pada pengetahuan yang meyakinkan seperti ditegaskan dalam klausa penutup ayat 24
tersebut, yaitu:”mereka sekali kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain
hanyalah menduga-duga saja.
            Banyak sekali ayat yang terkandung dalam Al-Quran yang menjelaskan tentang
keberadaan Allah sebagai tuhan semesta alam seperti yang terkandung dalam surah Ali-Imran
ayat 62 yang artinya “sesungguhnya ini adalah kisah yang benar. Tidak ada Tuhan selain
Allah, dan sungguh Allah Maha Perkasa , Maha Bijaksana.
            Keesaan Allah SWT adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan
yang lain. Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat syahadat Laa ilaaha illa Allah harus
menempatkan Allah SWT sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya.
Banyak sekali bukti-bukti yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa Tuhan
adalah Wujud (ada). Bukti klasik yang sering digunakan adalah tentang adanya alam semesta.
Setiap sesuatu  yang ada tentu diciptakan dan pencipta adalah Allah SWT Tuhan pencipta alam
semesta. Pembuktian dengan pendekatan seperti diatas sebenarnya bukanlah hal baru lagi. Jauh
sebelum umat Islam menggunakan pembuktian semacam itu, Plato telah mengemukakan teori
dalam bukunya Timaeus yang mengatakan bahwa tiap-tiap benda yang terjadi mesti ada yang
menjadikan.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget

Blog Archive

LATEST POSTS

CB Blogger Lab

JASA SEO CB

jam ayam

CONTOH BLOG

JASA SEO CB

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *