Jumat, 01 Maret 2019

Sistem Kebudayaan Islam


BAB 14 SISTEM KEBUDAYAAN ISLAM

A.    Konsep Kebudayaan dalam Islam

Dari segi etimologis, kata kebudayaan adalah kata dalam bahasa Indonesia yang berasal
dari bahasa Sansekerta buddhi yang berarti intelek (pengertian). Kata buddhi berubah menjadi
budaya yang berarti “yang diketahui atau akal pikiran”. Budaya berarti pula pikiran, akal budi,
kebudayaan, yang mengenai kebudayaan yang sudah berkembang, beradab, maju
(Poerwadarminta,1982:157).
Dari pengertian budaya di atas, dapat diutarakan dengan bahasa lain bahwa kebudayaan
merupakan gambaran dari taraf berpikir manusia. Tinggi-rendahnya taraf berpikir manusia akan
terlihat pada hasil budayanya. Kebudayaan merupakan cetusan isi hati suatu bangsa, golongan,
atau individu. Tinggi-rendahnya, kasar-halusnya pribadi manusia, golongan, atau ras, akan
terlihat pada kebudayaan yang dimiliki sebagai hasil ciptaannya. Maka dapat juga dikatakan
bahwa kebudayaan merupakan orientasi dan pola pikir manusia, golongan, atau bangsa.
Kebudayaan merupakan suatu konsep yang sangat luas ruang lingkupnya. Hal ini tidak terlepas
dari latar belakang timbulnya suatu kebudayaan itu sendiri. Dawson (1993:57) memberikan
empat faktor yang menjadi alasan pokok yang menentukan corak suatu kebudayaan, yaitu faktor
geografis, keturunan atau bangsa, kejiwaan, dan ekonomi.
Dalam Islam , memang tidak ada suatu rumusan yang kongkret mengenai suatu
kebudayaan. Berkaitan dengan masalah kebudayaan. Islam memberi kerangka asas atau prinsip
yang bersifat hakiki atau esensial. Dengan kata lain, Islam hanya memberikan konsep dasar yang
dalam perwujudannya tergantung pada pemahaman pendukungnya.Dalam keadaan atau waktu
yang berbeda, esensinya diwujudkan oleh aksidensi yang sangat ditentukan oleh aspek ekonomi,
politik, sosial budaya, teknik, seni, dan mungkin juga oleh filsafat.
Ciri-ciri yang membedakan antara kebudayaan Islam dengan budaya lain, diungkapkan
oleh Siba’i bahwa ciri-ciri kebudayaan Islam adalah yang ditegakkan atas dasar aqidah dan
tauhid, berdimensi kemanusiaan murni, diletakkan pada pilar-pilar akhlak mulia, dijiwai oleh
semangat ilmu (Zainal, 1993:60).
Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudyaan Islam dapat dipahami
sebagai hasil olah akal, budi, cipta, karya, karsa, dan rasa manusia yang bernafaskan wahyu ilahi
dan sunnah Rasul. Yakni suatu kebudayaan akhlak karimah yang muncul sebagai implementasi

Al-Qur’an dan Al-Hadist dimana keduanya merupakan sumber ajaran agama Islam, sumber
norma dan sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Dengan demikian kebudayaan Islam
dapat dipilah menjadi tiga unsur prinsipil, yaitu kebudayaan Islam sebagai hasil cipta karya
orang Islam, kebudayaan tersebut didasarkan pada ajaran Islam, dan merupakan pencerminan
dari ajaran Islam.
Ketiga unsur tersebut merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat terpisah satu dengan
yang lainnya. Dengan demikian, sebagus apapun kebudayaannya, jika itu bukan merupakan
produk kaum Mslimin tidak bisa dikatakan dan diklaim sebagai budaya Islam. Demikian pula
sebaliknya, meskipun budaya tersebut merupakan produk orang-orang Islam, tetapi substansinya
sama sekali tidak mencerminkan norma-norma ajaran Islam. Dengan kata lain, Al-Faruqi (2001)
menegaskan bahwa sesungguhnya kebudayaan Islam adalah “Kebudayaan Al-Qur’an“, karena
semuanya berasal dari rangkaian wahyu Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW pada abad
ketujuh. Tanpa wahyu kebudayaan Islami Islam, filsafat Islam, hukum Islam, masyarakat Islam
maupun organisasi politik atau ekonomi Islam.
B.     Prinsip-Prinsip Kebudayaan dalam Islam

Islam, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan
yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya
yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam
menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat
dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan
membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab
dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara
Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan
yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus
menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru
dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa
sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.

Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :

Ø  Pertama : Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam. seperti ; kadar besar kecilnya
mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya,
menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas.
Ø  Kedua : Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam, Contoh yang paling
jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan
dengan ajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah
dengan telanjang.
Ø  Ketiga : Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam. Seperti, budaya “ ngaben “ yang
dilakukan oleh masyarakat Bali.
C.    Sejarah Intelektual dalam Islam

Ada banyak faktor penyebab proses pertumbuhan peradaban Islam. Namun secara garis
besar dapat dibagi menjadi dua faktor penyebab tumbuh berkembangnya peradaban Islam,
hingga mencapai lingkup mondial, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor pertama (internal) berasal dari dalam norma-norma atau ajaran Islam sendiri.
Faktor kedua(eksternal) pada hakikanya merupakan implikasi dari faktor pertama. Motivasi
internal yang begitu kuat telah mengkristal dalam kehidupan umat Islam sejalan dengan
perkembangan sejarah, dan nilai-nilai atau norma-norma ajaran Islam menjiwai dalam setiap
kehidupannya.
Tonggak-tonggak sejarah peradaban Islam, tak pernah lepas dari sejarah intelektual
Islam. Untuk memahami dengan baik perkembangan tersebut, idealnya diperlukan pemahaman
yang memadai tentang periodisasi sejarah perkembangan Islam. Dengan menggunakan teori
yang dikembangkan oleh Harun Nasution, dilihat dari segi perkembangannya, sejarah intelektual
Islam dapat dikelompokkan ke dalam tiga masa, yaitu: masa klasik antara 650-1250 M, masa
pertengahan antara tahun 1250-1800 M, dan masa modern antara tahun 1800 sampai sekarang.
Pada masa klasik, lahir ulama’ mahzab, seperti: Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam
Syafi’i , dan Imam Maliki. Sejalan dengan itu lahir pula filosof muslim pertama,Al-Kindi 801 M.
Diantara pemikirannya, ia berpendapat bahwa kaum Muslimin menerima filsafat sebagai bagian
dari kebudayaan Islam. Selain, Al-Kindi, pada abad itu lahir pula filosof besar seperti: Al-Razi
(865 M) dan Al-Farabi (870 M). keduanya dikenal sebagai pembangun agung sistem filsafat.
Pada abad berikutnya, lahir filosof agung Ibn Miskawaih 930 M. Pemikirannya yang terkenal

tentang pendidikan akhlak. Kemudian Ibn Sina tahun 1037 M, Ibn Bajjah tahun 1138 M, Ibn
Tufail tahun 1147 M,dan Ibn Rusyd tahun 1126 M.
Masa pertengahan dalam catatan sejarah pemikiran Islam masa kini, merupakan fase
kemunduran karena filsafat mulai dijauhkan dari umat Islam sehingga ada kecenderungan akal
dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan ilmu, dunia dengan akhirat. Pengaruhnya masih
ada sampai sekarang. Sebagai pemikir muslim kontemporer sering melontarkan tuduhan pada
Al-Ghazali sebagai orang pertama yang menjauhkan filsafat dari agama. Sebagaimana tertuang
dalam tulisannya “Tahafut al-Falasifah” (Kerancuan Filsafat). Tulisan Al-Ghazali dijawab oleh
Ibn Rusyd dengan tulisan Tahafut al-Tahafut (Kerancuan di atas kerancuan).
D.    Budaya yang Boleh dan Tidak Boleh dalam Islam

Ajaran Islam yang berkembang di Indonesia mempunyai tipikal yang spesifik bila
dibandingkan dengan ajaran Islam di berbagai negara Muslim lainnya. Menurut banyak studi,
Islam di Indonesia adalah Islam yang akomodaatif dan cenderung elastis dalam berkompromi
dengan situasi dan kondisi yang berkembang di Indonesia, terutama situasi sosial politik yang
sedang terjadi pada masa tertentu. Muslim Indonesia pun konon memiliki karakter yang khas,
terutama dalam pergumulannya dengan kebudayaan lokal Indonesia. Disinilah terjadi dialog dan
dialektika antara Islam dan budaya lokal yang kemudian menampilkan wajah Islam yang khas
Indonesia, sehingga dikenal sebagai “Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia” dimaknai sebagai
Islam yang berbau kebudayaan Indonesia. Islam yang bernalar Nusantara, Islam yang
menghargai pluralitas, Islam yang ramah kebudayaan lokal, dan sejenisnya. “Islam Nusantara”
atau “Islam Indonesia” bukan foto copy Islam Arab, bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan
plagiasi Islam Barat, dan bukan pula duplikasi Islam Eropa.

Meskipun Islam lahir di negeri Arab, tetapi dalam kenyataannya Islam dapat tumbuh dan
berkembang dengan kekhasannya dan pada waktu yang sama sangat berpengaruh di bumi
Indonesia yang sebelumnya diwarnai animisme dan dinamisme, serta agama besar seperti Hindu
dan Budha. Dengan demikian, wajah Islam yang tampil di Indonesia adalah wajah Islam yang
khas Indonesia, wajah Islam yang berkarakter Indonesia, dan Islam yang menyatu dengan
kebudayaan masyarakat Indonesia, tetapi sumbernya tetap al-Qur’an dan al-Sunnah.

Oleh karena itulah, wajah Islam di Indonesia merupakan hasil dialog dan dialektika
antara Islam dan budaya lokal yang kemudian menampilkan wajah Islam yang khas Indonesia.
Dalam kenyataannya, Islam di Indonesia memanglah tidak bersifat tunggal, tidak monolit, dan
tidak simple, walaupun sumber utamanya tetap pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Islam Indonesia
bergelut dengan kenyataan negara-negara, modernitas, globalisasi, kebudayaan likal, dan semua
wacana kontemporer yang menghampiri perkembangan zaman dewasa ini.
Tulisan ini ditulis dalam konteks sebagaimana tersebut diatas dalam memandang event
peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Dalam realitanya memang terdapat berbagai tradisi
umat Islam dibanyak Negara Muslim seperti Indonesia, Malasyia, Brunai, Mesir, Yaman,
Aljazair, Maroko, dan lain sebagainya yang menimbulkan “kontroversi” dari perspektif hukum
tentang boleh atau tidaknya atau halal atau haramnya untuk mengamalkannya. Di Antara tradisi
yang menimbulkan kontroversi itu Antara lain melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti
peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, peringatan Isra’ Mi’raj, peringatan Muharram, dan
lain-lain.
Oleh karena kontroversi-kontroversi yang menyelimuti peringatan-peringatan tersebut,
maka tulisan ini berupaya menjelaskan posisi peringatan Maulid Nabi Saw, perspektif hukum
Islam, akan tetapi tidak bersifat tunggal, namun memberikan horizon pilihan yang
memungkinkan kita untuk bersikap arif dan bijaksana terhadap pihak yang berbeda pahamnya.
Dari riwayat Rasulullah Saw, Islam membiarkan beberapa adat kebiasaan manusia yang
tidak bertentangan dengan syariat dan adab-adab Islam atau sejalan dengannya. Oleh karena itu,
Rasulullah Saw tidak menghapus seluruh adat dan budaya masyarakat Arab (pada masa itu) yang
ada sebelum datangnya Islam. Akan tetapi Rasulullah Saw melarang budaya-budaya yang
mengandung unsur syirik, seperti pemujaan terhadap leluhur dan nenek moyang, dan budaya-
budaya yang bertentangan dengan adab-adab Islami.

Jadi, selama adat dan budaya itu tidak bertentangan dengan Islam, silahkan
melakukannya. Namun jika bertengan dengan ajaran Islam, seperti memamerkan aurat pada
sebagian pakaian adat daerah, atau budaya itu berbau syirik atau memiliki asal-usul ritual syirik
dan pemujaan atau penyembahan kepada dewa-dewa atau Tuhan-Tuhan selain Allah, maka
budaya seperti itu hukumnya haram.

E.     Masjid sebagai Pusat Peradaban dalam Islam

Dalam sejarah perkembangan Islam, Masjid memiliki fungsi yang sangat vital dan
dominan bagi kaum Muslimin, di antaranya:
1.      Mesjid pada umumnya dipahami masyarakat sebagai tempat ibadah khusus, seperti sholat.
2.      Sebagai “prasasti” atas berdirinya masyarakat Muslim. Jika dewasa ini bendera sebagai simbol
sebuah Negara yang telah merdeka, maka kaum Muslimin pada tempo dulu jika berhasil
“menaklukkan” sebuah Negara, mereka menandainya dengan membangun sebuah masjid sebagai
pertanda bahwa wilayah tersebut menjadi bagian dari “Negara Islam” (Shini,T.T:158)
3.      Masjid merupakan sumber komunikasi dan informasi antar warga masyarakat Islam.
4.      Di zaman Nabi SAW masjid sebagai pusat peradaban
5.      Sebagai simbol persatuan umat Islam.
6.      Sebagai pusat gerakan.
7.      Di Masjid kaum tua-muda Muslim mengabdikan hidup untuk belajar ilmu-ilmu Islam,
mempelajari Al-Qur’an dan Al-Hadist , kritisme, tafsir, cabang-cabang syariat, sejarah,
astronomi, geografi, tata bahasa, dan sastra arab.
F.     Nilai-Nilai Islam dalam Budaya Indonesia

Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya. Karena Islam berasal dari jazirah
Arab, maka Islam masuk ke Indonesia tidak terlepas dari budaya Arabnya.
Kedatangan Islam dengan segala komponen budayanya di Indonesia secara damai telah menarik
simpati sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari situasi politik yang
tengah terjadi saat itu.
Dalam pandangan Nurcholis Majid (1988:70) bahwa daya tarik Islam yang pertama dan
utama adalah besifat psikologis, Islam yang secara radikal bersifat egaliter dan mempunyai
semangat keilmuan merupakan konsep revolusioner yang sangat memikat dalam membebaskan
orang-orang lemah (mustadh’afin) dari belenggu hidupnya.
Dalam perkembangan dakwah Islam di Indonesia, para da’i mendakwahkan ajaran Islam
melalui bahasa budaya, sebagaimana dilakukan oleh Wali Songo di tanah Jawa. Karena
kehebatan para wali Allah SWT itu dalam mengemas ajaran Islam dengan bahasa budaya
setempat sehingga masyarakat tidak sadar bahwa nilai-nilai Islam telah masuk dan menjadi
tradisi dalam kehidupan sehari-hari mereka.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget

Blog Archive

LATEST POSTS

CB Blogger Lab

JASA SEO CB

jam ayam

CONTOH BLOG

JASA SEO CB

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *