Rabu, 27 Februari 2019

Pentingnya Lembaga Jaminan


BAB 2

A.    Pentingnya Lembaga Jaminan

Dalam rangka pembangunan ekonomi nasional, Indonesia membutuhkan dana tidak sedikit. Mengenai hal ini pemerintah memberdayakan berbagai lembaga perbankan kebutuhan ekonomi masyarakat. Lembaga pembiayaan memberikan kemudahan melalui fasilitas pembiayaan kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Dalam hal ini pihak yang membutuhkan dana harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh lembaga pembiayaan yang bersangkutan.
Salah satu persyaratan penting untuk memperoleh fasilitas kredit adalah adanya jaminan atau  agunan yang bermutu tinggi dan mudah diperjualbelikan. Tidak dapat disangkal, bahwa pembangunan ekonomi negara negara di berbagai sektornya, terutama kegiatan-kegiatan bisnis yang dilakukan para pelaku bisnis akan selalu diikuti oleh perkembangan kebutuhan dana melalui kredit, dan pemberian fasilitas kredit akan selalu membutuhkan adanya jaminan.
Jaminan yang dimaksud disini semata-mata hanya melindungi kepentingan kreditur, agar dana yang telah diberikan kreditur dalam bentuk pembiayaan dapat dikembalikan sesuai jangka waktu yang ditentukan. Dengan kata lain pihak pemilik dana  atau kreditur, terutama lembaga perbankan atau lembaga pembiayaan  mensyarat kan adanya jaminan bagi pemberian kredit demi keamanan dana dan kepastian hukumnya.
Jadi, jelas bahwa tanpa adanya jaminan dari debitur maka pihak kreditur tidak akan memberikan fasilitas kredit apapun. Ini berarti bahwa dalam kegiatan bisnis, jaminan mempunyai peranan yang sangat penting. Oleh karena itu, keberadaan ketentuan hukum yang mengatur mengenai lembaga pembiayaan maupun jaminan itu sangatlah diperlukan. Tetapi permasalahannya masih banyak lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan obyek jaminan fidusia di kantor pendaftaran fidusia. Dan masih banyak juga eksekusi paksa yang dilakukan oleh pihak kreditur.

B.     Beberapa Pengertian

1.      Pengertian Jaminan
Istilah “jaminan” berasal dari kata ”jamin” yang berarti tanggung, sehingga istilah ‘jaminan”dapat diartikan sebagai tanggungan. Jaminan adalah suatu yang diberikan kepada kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.
Hukum Jaminan adalah keseluruhan dari kaidah – kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan  fasilitas/kredit.
Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidsstelling atau security of law. Dalam seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional tentang lembaga hipotek dan jaminan lainnya, yang diselenggarakan di Yogyakarta, pada tanggal 20 sampai dengan 30 juli 1977, disebutkan bahwa hukum jaminan, meliputi pengertian, baik jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan. Pengertian jaminan ini mengacu pada jenis jaminan, bukan pengertian. Definisi ini menjadi tidak jelas, karena yang dilihat hanya dari penggolongan jaminan.

Pengertian hukum jaminan dari berbagai pendapat para ahli :

a.        Prof. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan
Hukum jaminan adalah hukum mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan. Peraturan demikian harus cukup menyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah besar, dengan jangka waktu lama dan bunga yang relatif rendah.
Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Sri Soedewi Masjhoen Sofwan ini merupakan suatu konsep yuridis yang berkaitan dengan penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan pada masa yang akan datang. Sedangkan saat ini telah dibuat berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jaminan.

b.        J satrio
Hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap debitur. Definisi ini di fokuskan pada pengaturan pada hak-hak kreditur semata-mata, tetapi tidak memperhatikan hak-hak debitur. Padahal subjek kajian hukum jaminan tidak hanya menyangkut kreditur semata-mata, tetapi juga erat kaitannya dengan debitur.

c.        Salim H.S
Hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.

d.       Prof. M. Ali Mansyur
Hukum jaminan adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara kreditur dan debitur yang berkaitan dengan pembebanan jaminan atas pemberian kredit.
Dari pendapat diatas dapat ditarik benang merah bahwa hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jaminan dengan penerima jaminan dengan menjaminkan benda - benda sebagai jaminan.


2.      Fungsi Jaminan
Fungsi utama jaminan adalah untuk menyakinkan bank atau  kreditur, bahwa debitur mempunyai kemampuan untuk mengembalikan atau melunasi kredit yang diberikan kepadanya sesuai dengan persyaratan dan perjanjian kredit yang telah disepakati bersama.
Fungsi lain dari jaminan adalah sebagai sarana perlindungan bagi keamanan atau kepastian pelunasan hutang debitur kepada kreditur. Oleh karena itu, jaminan di samping faktor-faktor lain seperti watak, kemampuan, modal, jaminan dan kondisi ekonomi, dapat dijadikan sebagai sarana perlindungan untuk para kreditur dalam kepastian atau pelunasan utang calon debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur.

3.      Ruang Lingkup Hukum Jaminan
Ruang lingkup hukum jaminan meliputi jaminan umum dan khusus. Jaminan khusus terbagi dua yaitu jaminan kebendaan dan jaminan perorangan.
Jaminan umum yaitu jaminan dari pihak debitur yang terjadi atau timbul dari undang-undang, yaitu bahwa setiap barang bergerak ataupun tidak bergerak milik debitur menjadi tanggungan utangnya kepada kreditur. Maka apabila debitur wanprestasi, maka kreditur dapat meminta pengadilan untuk menyita dan melelang seluruh harta debitur.
Jaminan khusus yaitu bahwa setiap jaminan utang bersifat kontraktual, yaitu yang terbit dari perjanjian tertentu, baik yang khusus ditujukan terhadap benda-benda tertentu maupun orang tertentu.
Jaminan kebendaan terbagi dua yaitu  benda bergerak  dan benda tak bergerak. Lembaga jaminan benda bergerak meliputi gadai dan fidusi. Jaminan benda tidak bergerak meliputi hak tanggungan, hipotek, kapal laut, dan pesawat udara. Sedangkan jaminan perorangan meliputi borg, tanggung-menganggung atau tangung renteng, dan garansi bank.




C.    Jenis-jenis Jaminan

Secara umum jaminan dapat dibedakan menjadi jaminan perorangan (persoonlijke zekerheid) dan jaminan kebendaan (zakerlijke zekerheid).
1.      Jaminan Perorangan (Personal Guaranty)
Jaminan perorangan adalah jaminan seseorang dari pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban dari debitur. Dengan perkataan lain, jaminan perseorangan itu adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berutang (debitur).
Dalam jaminan perorangan (borgotch) itu selalu dimaksudkan bahwa untuk pemenuhan kewajiban-kewajiban pihak debitur, yang dijamin pemenuhannya seluruhnya atau sampai suatu bagian tertentu, harta benda debitur dapat disita dan dilelang menurut ketentuan-ketentuan perihal pelaksanaan atau eksekusi putusan pengadilan.
Mengenai pengertian penanggungan ditegaskan dalam Pasal 1820 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa :

“Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.”
.
Hal serupa juga dikatakan oleh J. Satrio dalam bukunya yang berjudul Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Pribadi: Tentang Perjanjian Penanggungan dan Perikatan Tanggung Menanggung (hal. 12), sebagaimana kami sarikan, bahwa di dalam KUHPer, penanggungan atau borgtocht mempunyai pengaturannya dalam Pasal 1820 KUHPer dan selanjutnya. Unsur-unsur perumusan Pasal 1820 KUHPer yang perlu mendapat perhatian adalah:
1)      Penanggungan merupakan suatu perjanjian;
2)      Borg adalah pihak ketiga;
3)      Penanggungan diiberikan demi kepentingan kreditur;
4)      Borg mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, kalau debitur wanprestasi;
5)      Ada perjanjian bersyarat.
Sebagaimana halnya perjanjian-perjanjian lainnya, maka perjanjian perorangan ini juga bersifat accesoir, dalam arti bahwa perjanjian penganggungan itu baru timbul setelah dilahirkannya perjanjian pokoknya berupa perjanjian utang piutang.
Tanggung jawab penanggung terhadap debitur, adalah tanggung jawab yang bersifat suatu “cadangan” saja, dalam arti berfungsi apabila harta benda debitur tidak mencukupi unyuk melunasi utangnya, atau dalam halnya debitur itu sama sekali tidak mempunyai harta benda yang dapat disita. Jadi kalau pendapatan lelang sita atas harta benda debitur itu tidak mencukupi untuk melunasi utangnya, barulah tiba gilirannya untuk menyita harta benda penanggung/penjamin. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1831 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Si penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berutang, selainnya jika si berutang lalai, sedangkan benda-benda si berutang ini harus lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya.”

Akibat lain dari hubungan antara debitur dan penanggung yang telah membayar, dapat menuntutnya kembali dari debitur utama, baik penanggungan telah diadakan maupun tanpa pengetahuan debitur utama. Penuntutan kembali ini tidak mengenai uang pokoknya maupun mengenai bunga serta biaya-biaya lain.
Namun, oleh karena jaminan perorangan ini tidak ada hak privilege atau hak yang diistimewakan terhadap kreditur-kreditur lainnya, maka jaminan itu hampir tidak berarti bagi bank sebagai pihak pemberi kredit. Sebab tentunya bagi pihak kreditur menginginkan jaminan yang lebih kuat dan bersifat khusus. Sehingga bila suatu saat debitur tidak memenuhi utangnya, maka dapat dengan mudah menyita dan melelang barang yang dijadikan jaminan tersebut.


2.      Jaminan Kebendaan
Jaminan kebendaan adalah suatu tindakan berupa suatu penjaminan yang dilakukan oleh si berpiutang (kreditur) terhadap debiturnya, atau antara si berpiutang dengan seorang pihak ketiga guna memenuhi kewajiban-kewajiban dari si berutang (debitur).
Pemberian jaminan kebendaan selalu berupa menyendirikan suatu bagian dari kekayaan seeorang, si pemberi jaminan, dan menyediakannya guna pemenuhan (pembayaran) kewajiban (utang) seorang debitur. Kekayaan tersebut dapat berupa kekayaan si debitur sendiri atau kekayaan seorang pihak ketiga. Pemberian jaminan kebendaan ini kepada si berpiutang (kreditur) tertentu, memberikan kepada si berpiutang tersebut suatu hak privilege (hak istimewa) terhadap krediturnya.
Dari pengertian benda sebagai kekayaan seseorang, maka benda tersebut termasuk juga kekayaan yang tidak dapat dilihat, misalnya hak piutang. Sebab yang dimaksud dengan benda (zaak) dalam arti luas, ialah sesuatu yang dapat dihaki orang lain.
Penyendirian atau penyediaan secara khusus kekayaan itu diperuntukkan bagi kepentingan seorang debitur tertentu yang telah memintanya, karena bila tidak ada penyendirian atau penyediaan secara khusus itu bagian dari kekayaan tadi seperti halnya dengan seluruh kekayaan debitur dijadikan jaminan untuk pembayaran semua utang debitur. Dengan demikian, maka pemberian jaminan kebendaan kepada seorang debitur tertentu, memberikan kepada kreditur tersebut suatu “privilege” atau kedudukan istimewa terhadap para kreditur lainnya

D.    Jenis-jenis Lembaga Jaminan di Indonesia

Pokok-pokok bahasan dalam bagian ini adalah mengenai lembaga jaminan untuk benda tidak bergerak, yaitu hak tanggungan, serta lembaga jaminan untuk benda bergerak yang terdiri dari gadai dan fidusia.



1.      Hak Tanggungan
a.      Pengertian Hak Tanggungan
Menurut ketentuan Pasal 1 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan kesatuan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
b.      Pengaturan Hak Tanggungan
Sejak UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Daar Pokok-pokok Agraria mulai berlaku, sesungguhnya telah ditentukan bahwa akan diatur mengenai hak tanggungan sebagai hak yang memberikan jaminan atas tanah dan benda-benda yang berada di atasnya. Tetapi harapan itu baru dapat diwujudkan pada 1996 dengan diberlakukannya UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah serta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (Selanjutnya dalam tulisan ini disebut UU Hak Tanggungan) sejak April 1996.
c.       Ciri-ciri Hak Tanggungan
1.      Hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (doit de preference). Ciri ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan.
2.      Hak tanggungan selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek itu berada (droit de suite), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 UU Hak Tanggungan
3.      Hak tanggungan memenuhi asas spesialitas dan publitas, sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
4.      Hak tanggungan mudah dan pasti dilaksanakan.

d.      Asas-asas Hak Tanggungan
1)      Asas Publisitas
Pasal 13 ayat (1) UU Hak Tanggungan menyatakan bahwa “Pemberian hak tanggungan wajib didaftrakan pada Kantor Pertanian.” Dan dalam bagian penjelasan pasal ini dikatakan bahwa salah satu asas hak tanggungan adalah asas publisitas.
2)      Asas Spesialitas
Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa, ketentuan ini menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk sahnya Akta Pemberian Hak Tanggungan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi asas spesialitas dari Hak Tanggungan, baik mengenai subjek, objek, maupun utang yang dijamin.
3)      Asas Tak Dapat Dibagi-bagi
Pasal 2 ayat (1) UU Hak Tanggungan menyatakan bahwa, “Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
e.       Objek Hak Tanggungan
Menurut Pasal 4 UU Hak Tanggungan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah :
1.      Hak guna usaha (Pasal 4 ayat (1))
2.      Hak guna bangunan (Pasal 4 ayat (1))
3.      Hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan (Pasal 4 ayat (2))
4.      Hak atas pakai tanah hak milik (Pasal 4 ayat (3))
5.      Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau yang akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut (Pasal 4 ayat (4))
6.      Rumah susun dan hak milik atas satuan rumah susun (Pasal 27).

f.        Proses Pembebanan Hak Tanggungan
1)      Tahap Pemberian Hak Tanggungan
Dalam tahap ini menurut ketentuan Pasal 10 UU Hak Tannggungan disebutkan bahwa pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan perlunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan.
Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2)      Tahap Pendaftaran
Menurut ketentuan Pasal 13 UU Hak Tanggungan, bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib didaftrakan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkat lain yang diperlukan kepada kantor pertanahan.

g.      Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dan Janji-janjI yang Terkandung di Dalamnya
Dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 10 UUHT, pemberian Hak Tanggungan juga harus memenuhi persyaratan yang berkaitan dengan identitas pemegang Hak Tanggungan tersebut. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 11 UUHT dinyatakan bahwa:
Di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan: 
(a)     nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan 
(b)     domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih.
(c)      penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1
(d)     nilai tanggungan; 
(e)     uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.
Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain (Pasal 11 Ayat (2)):
1)      janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untukmenyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktusewa dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulislebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
2)      janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak Tanggungan, kecuali denganpersetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan
3)      janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang HakTanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan KetuaPengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggunganapabila debitor sungguh-sungguh cidera janji;
4)      janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang HakTanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukanuntuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya ataudibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi ataudilanggarnya ketentuan undang-undang;
5)      janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hakuntuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji;

h.      Hapusnya Hak Tanggungan
Hak-hak Tanggungan bisa hapus dengan alasan-alasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) UU Hak Tanggungan, yaitu :
1.      Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan.
2.      Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan.
3.      Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh ketua pengadilan negeri.
4.      Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.

i.        Eksekusi Hak Tanggungan
Yang dimaksud dengan eksekusi hak tanggungan adalah apabila debitur cedera janji maka objek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pemegang hak tanggungan berhak mengambil seluruh atau sebagian dari hasilnya untuk pelunasan utangnya, dengan hak mendahulu (hak preferen) dari kreditur-kreditur lainnya.

2.      Gadai
a.      Pengertian
Yang dimaksud dengan gadai menurut ketentuan Pasal 1150 KUH Perdata, adalah suatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkannya untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.

b.      Pengaturan
Pegadaian adalah suatu lembaga keuangan bukan bank yang memberikan kredit kepada masyarakat dengan corak khusus yang telah dikenal di Indonesia sejak tahun 1901. Mengenai gadai ini diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1161 Kitab UU Hukum Perdata, dan secara kelembagaan diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1990 tentang Pegadaian.

c.       Saat Terjadinya Hak Gadai
1)      Tahap Pertama
Tahapan petama untuk terjadinya hak gadai adalah perjanjian pinjam uang dengan janji sanggup memberikan benda bergerak sebagai jaminannya. Perjanjian ini bersifat konsensuil dan obligator.
2)      Tahap Kedua
Penyerahan benda gadai dalam kekuasaan penerima gagal. Benda yang disajikan objek gadai adalah bendak bergerak, maka benda itu harus dilepaskan dari kekuasaan debitur atau pemberi gadai. Penyerahan itu harus nyata, tidak boleh hanya berdasarkan pernyataan dari debitur, sedangkan benda itu berada dalam kekuasaannya debitur.



d.      Sifat dan Tujuan Usaha Pegadaian
Sifat dari lembaga pegadaian adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasar atas prinsip pengelolaan perusahaan.
Sejalan dengan sifatnya tersebut, tujuan pokok dari lembaga pegadaian adalah :
1.      Turut melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai.
2.      Pencegahan praktik ijon, pegadaian gelap, riba, dan pinjaman tidak wajar lainnya.

e.       Kegiatan Usaha Pegadaian
Pada dasarnya, lembaga pegadaian dapat menerima semu jenis barang bergerak sebagai agunan kredit. Tetapi atas alasan dan pertimbangan tertentu lembaga pegadaian dapat saja menolak suatu barang bergerak, misalnya :
1.      Barang milik pemerintah
2.      Barang yang cepat rusak karena proses kimia atau alami
3.      Kendaraan bernotor
4.      Barang yang mudah terbakar
5.      Binatang ternak, hasil bumi, atau barang dagangan dalam jumlah besar
6.      Barang-barang karya seni yang nilainya relatif sukar ditaksir.

3.      Fidusia
a.      Pengertian
Menurut UU Jaminan, fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak khususnya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.
b.      Pengaturan
Undang-undang yang mengatur tentang lembaga fidusia ini adalah Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

c.       Prinsip-prinsip Jaminan Fidusia
Menurut Munir Fuady, jaminan fidusia mengandung beberapa prinsip penting, yaitu :
1.      Bahwa secara riil, pemegang fidusia hanya berfungi sebagai pemegang jaminan saja, bukan sebagai pemilik yang sebenarnya.
2.      Hak pemegang fidusia untuk mengeksekusi barang jaminan baru ada jika ada wanprestasi dari pihak debitur.
3.      Apabila utang sudah dilunasi, maka objek jaminan fidusia harus dikembalikan kepada pihak pemberi fidusia.
4.      Jika hasil penjualan (eksekusi) barang fidusia melebihi jumlah utangnya, maka sisa hasil penjualan harus dikembalikan kepada pemberi fidusia.

d.      Syarat-syarat Sahnya Peralihan dan Pemberian Hak dalam Fidusia
1.      Terdapat perjanjian yang zakelijik.
2.      Adanya titel untuk peralihan hak.
3.      Adanya kewenangan untuk menguasai benda dari orang yang menyerahkan benda.
4.      Cara tertentu untuk penyerahan, yakni dengan cara “Consticutum Possessorium” yang mengandung arti bahwa penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik benda sama sekali.

e.       Akta dan Objek Jaminan Fidusia
Bahwa akta jaminan fidusia haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1)      Harus berupa akta notaris
2)      Harus dibuat dalam bahasa Indonesia
3)      Harus berisi sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut :
a.       Identitas pemberi dan penerima fidusia
b.      Mencantumkan hari, tanggal, dan jam pembuatan akta fidusia
c.       Data jaminan pokok yang dijamin dengan fidusia
d.      Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia
e.       Nilai penjaminannya
f.       Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Adapun benda-benda yang dapat dijadikan objek jaminan fidusia adalah sebagai berikut :
1.      Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum.
2.      Dapat atas benda berwujud.
3.      Dapat atas benda tak berwujud, termasuk piutang.
4.      Benda bergerak.
5.      Benda tidak bergerak yang tidak diikat dengan hak tanggungan.
6.      Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikatkan dengan hipotek.
7.      Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan diperoleh kemudian.
8.      Dapat atas satu satuan atau jenis benda.
9.      Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda.
10.  Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia.
11.  Termasuk juga klaim asuraransi dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
12.  Benda persediaan dapat juga menjadi objek jaminan fidusia.

f.        Hapusnya Jaminan Fidusia
Dalam hal ini dapat dikemukakan bahwa jaminan fidusia dapat hapus karena beberapa alasan, yaitu :
1)      Hapusnya Utang yang Dijamin oleh Jaminan Fidusia
Bahwa hapusnya jaminan fidusia karena hapusnya atau lunasnya utang yang dijamin dengan jaminan fidusia adalah konsekuensi logis dan yuridis dari karakter perjanjian.
2)      Pelepasan Hak Atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia
Sebagai pihak yang memiliki hak atas fidusia bebas untuk mempertahankan atau melepaskan haknya tersebut, karena itu pelepasan hak atas jaminan fidusia adalah hal yang wajar.
3)      Musnahnya Benda yang Menjadi Jaminan Fidusia
Musnahnya benda yang menjadi jaminan fidusia adalah juga kejadian yang dapat menghapuskan jaminan fidusia.
g.      Eksekusi Fidusia
Dalam eksekusi fidusia dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu :
1.      Secara fiat eksekusi (dengan memakai titel eksekutorial), yaitu melalui penetapan pengadilan.
2.      Secara parate eksekusi, yaitu dengan menjual benda yang dijadikan objek jaminan fidusia di depan pelanggan umum tanpa memerlukan penetapan pengadilan.
3.      Dijual di bawah tangan oleh pihak kreditur sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget

Blog Archive

LATEST POSTS

CB Blogger Lab

JASA SEO CB

jam ayam

CONTOH BLOG

JASA SEO CB

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *